Lembah Para Mafia

Yulistya Yoo
Chapter #33

Perseteruan Dua Makelar

Jam dinding klasik selalu menimbulkan bunyi yang khas setiap kali jarumnya bergerak. Benda berusia sepuh itu menghiasi ruang tamu Hasan. Cocok sekali dengan model rumah joglo dengan desain lama. Teras dan ruang tengah tanpa sekat. Pagar dari kayu jati yang berukir sisik naga, menjadi batas halaman. Pada saat senggang, Hasan paling suka duduk di atas kursi goyang dari bambu sambil mendengar detak jarum jam. Sayangnya kali ini, suara itu justru menambah benang kusut dalam kepalanya. Apa yang dikatakan Arman beberapa menit lalu, tidak disangka membuatnya begitu terusik.

Sebagai seorang makelar, situasi yang kini terjadi akan sangat merugikannya. Sejak Sinta menghubungi, meminta jasanya guna mengurus proses jual-beli tanah, Hasan telah menghitung berapa keuntungan yang akan dia dapatkan. Target tanah yang ditunggu-tunggu akhirnya jatuh ke tangan. Nahas, beberapa pihak turut mencium aroma uang. Mulai dari Jupri yang memanfaatkan Bapak sampai Wira yang ternyata tidak mau membiarkan keuntungan itu terciprat sia-sia.

Jika sawah milik Sinta ini terjual sebelum tiga bulan lalu, tentu ketegangan di antara makelar tidak akan pernah terjadi. Hasan dan Jupri masih satu tim solid kala itu. Sejak PT. Pelita Properti datang dengan proposal pembebasan lahan, Hasan dan Jupri saling berjabat tangan. Bekerja sama membujuk warga untuk segera menjual sawah. Strategi yang mereka gunakan cukup sederhana, hanya dengan menjual angan-angan hidup nyaman dengan uang ratusan juta. Bagi orang kampung yang tingkat pendidikannya rendah, suatu hal mudah untuk membuai mereka dengan semunya khayal.

Akan tetapi, kekompakan dua makelar itu lenyap tiga bulan silam. Seolah-olah telah terlupa bagaimana mereka saling berpelukan ketika keuntungan didapatkan, keduanya mulai sengit saling berebut mangsa. 

Semua bermula ketika Rusdi, adik Hasan itu mencak-mencak dengan golok teracung di tangan. Dia berlari cepat mendatangi Hasan yang tengah duduk santai di kursi goyang. Hampir-hampir meloncat keluar jantung Hasan ketika golok itu hanya berjarak lima sentimeter saja dari lehernya.

"Mau Abang gunakan untuk apa uang itu? Menaburi kuburanmu, hah?"

Lupa sudah jika Hasan adalah saudara sekandungnya, sedarahnya. Rusdi memaki habis-habisan. Hal itu disebabkan lantaran perkara penjualan sawah atas nama mendiang bapak mereka. Menurut pengakuan Rusdi, sawah itu telah dihibahkan kepadanya meski belum sempat diganti nama. Betapa terkejutnya Rusdi ketika hendak menjual sawah tersebut, dia gagal membuat sporadik. Pihak kelurahan beralasan jika sudah ada sporadik yang dikeluarkan, sawah yang sama atas nama Hasan. Bersungut-sungutlah Rusdi mengetahui hal tersebut. Namun, Hasan pun berdalih jika dirinya tidak tahu-menahu. Boleh jadi, mendiang bapak mereka yang telah mengubahnya.

Rusdi yang tetap bersikeras jika sawah itu adalah warisan untuknya pun menerima tawaran Hasan untuk membagi dua hasil penjualan. Proses jual-beli berjalan lancar, pun Rusdi yang akhirnya mau mengikhlaskan. Akan tetapi, simpang siur kabar mulai berembus. Jupri yang asyik menikmati kopi dengan campuran bir, setengah sadar dia mengoceh tentang akal bulus Hasan untuk mengambil sawah waris milik Rusdi. Peranglah dua saudara itu.

"Lantas, kamu mau apa, Rus?" Dengan tenang Hasan mendorong golok menjauh dari lehernya. Dia bangkit, menatap Rusdi dengan seringaian. "Kalaupun kamu mau mengusutnya ke ranah hukum, justru kamulah yang akan disuruh mengembalikan separuh uang tersebut padaku. Dan jika kamu memilih menggorok leherku ... oh, ayolah! Aku sungguh tidak bisa tenang bahkan dalam kubur jika saudara satu-satunya mendekam dalam penjara, lantas anak dan istrinya menggelandang, menanggung utang. Bukankah kamu terburu-buru menjual sawah itu karena utang dari judimu?"

Apa mau dikata. Rusdi hanya bisa mengunyah kembali kemarahannya. Sudah mati-matian dia membujuk sang istri agar tidak membawa anak-anak mereka merantau ke pulau seberang tersebab lelah hidup dalam kungkungan utang. Golok itu terlorot dari tangan Rusdi yang lunglai. Dia balik kanan meninggalkan pelataran rumah Hasan. Tentu saja dengan bersumpah untuk tidak lagi menyambung tali persaudaraan.

Lihat selengkapnya