Selalu menarik ketika uang telah menjadi tujuan akhir sebuah upaya. Kesederhanaan yang menjadi prinsip hidup sejak lama, tumbang juga. Begitu mudahnya manusia menjadi budak dari selembar kertas ajaib yang disahkan oleh negara sebagai alat transaksi. Begitu mudah manusia menjadikan selembar kertas ajaib itu sebagai alat untuk membeli legalitas demi memperlancar urusannya.
Dua puluh jam terlewat sejak Hasan melontarkan omong kosong perihal opsi penyuapan pada Dandy terkait kasus sawah Sinta. Sebuah ganjalan dalam hati Arman membuatnya tidak berhenti memeta-metakan setiap datail kecil yang terjadi sejak mereka kembali ke kampung, lantas dihadapkan pada kasus pelik pencurian sawah yang dilakukan Jupri.
Semua dimulai ketika Sinta menemukan Bapak harus merangkak di bawah ceruk. Sawah yang dikelilingi oleh pagar kawat berduri. Arman mengetuk-ngetukkan pulpen pada meja.
Lantas, ingatannya jatuh pada pertemuan dengan Hasan yang dimintai tolong Sinta untuk menjadi makelar jual-beli sawah. Hasan yang mengaku bekerja langsung pada pihak kantor, mengatakan dengan jelas jika telah mendapatkan bagian beberapa persen dari mereka. Maka dari itu, dia tidak perlu memberi patokan harga untuk jasanya pada Sinta. Sampai pada tahap tersebut, semuanya berjalan lancar dan tentu saja Sinta dan Arman merasa tenang menyerahkan urusan tanah kepada Hasan.
Akan tetapi, satu kejanggalan mulai terasa ketika pihak kantor tidak memberi pembayaran langsung. Tidak ada pelunasan dengan dalih jika memang prosedur pembelian yang mereka lakukan adalah dengan pemberian uang tanda jadi terlebih dahulu. Hasan membumbui ucapan Dandy, perwakilan dari kantor untuk meyakinkan Sinta dan Arman hingga proses jual-beli tahap pertama itu lancar terjadi. Namun, baik Sinta ataupun Arman, tidak bisa memperkirakan jika sesuatu yang amat rumit telah mengadang di depan mata, itu adalah Jupri dan kelicikannya.
Dengan begitu terencana, Jupri menyiapkan berbagai senjata untuk membungkam suara Arman dan Sinta. Mulai dari mengambil foto Bapak secara diam-diam, sampai urusan uang muka seratus juta yang diambil Romlah. Dua bersaudara rakus tersebut sungguh kompak membuat Sinta tersudut. Pihak kelurahan yang diharap bisa menjadi hakim paling adil dalam terselesaikannya masalah, justru adalah kunci awal untuk memuluskan rencana gila Jupri. Sporadik atas nama Jupri itu sungguh mencekal langkah Arman dan Sinta pada proses jual-beli.
"Apa gerangan yang membuat rekan kerjaku ini menulikan telinga dari ketukan pintu?" Seorang laki-laki melongokkan kepala, memasuki ruang kerja Arman. "Wajahmu tegang sekali, Kawan. Ada apa?"
"Ada sedikit masalah pribadi, Bram." Arman tersenyum tipis. "Bagaimana proyek bagianmu? Perlu bantuan?"
"Harusnya itu pertanyaan untukmu. Ada apa? Kamu sepertinya jauh lebih butuh bantuan, Arman."
Arman menghela napas. Telah begitu berat persoalan ini menggantung di benaknya. Terutama perihal titik temu antara Sinta dan Bapak yang belum juga didapatkan. Mengalirlah cerita tersebut dari mulut Arman. Bram mendengarnya sambil sesekali menyerukan 'Oh!'. Sesekali pula dia ikut mengumpat ketika Arman menarasikan sosok Jupri dengan gambaran kelicikan.
"Begitulah. Pelik sekali, bukan?" Arman mengakhiri ceritanya.
Bram menggaruk-garuk dagunya. Mencoba mencerna rentetan kejadian yang bertubi-tubi dialami Arman.
"Apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
"Tadinya, aku mau menunggu dulu apa hasil dari perkataan Lurah. Tapi, sepertinya juga tidak ada hasilnya."
"Tindakan hukum?" Bram mulai penasaran.
"Itu opsi terakhir, Bram. Bagaimanapun juga, sejujurnya aku dan istriku ingin menghindari jalur hukum. Semua yang terlibat dalam urusan ini masih ada hubungan kerabat, teman dekat."