Tiga orang perempuan masuk dengan membawa beberapa botol minuman beralkohol. Lampu ruangan yang sengaja dibuat remang, tidak membuat mereka kesulitan membersihkan kulit-kulit kacang serta sisa-sisa lintingan rokok yang berserakan di atas meja. Terampil betul tangan mereka menyajikan minuman dari beberapa merek miras yang dioplos jadi satu. Tanpa risi membiarkan tangan-tangan bangsat menggerayangi tubuh. Melalui malam-malam dengan para bedebah hidung belang telah menjadi kebiasaan lumrah bagi seorang pemandu karaoke seperti mereka. Tidak masalah selama dompet para bedebah itu berjejalan dengan lembaran uang.
"Hari ini kami ada rapat penting. Tidak butuh kalian. Pergilah!" Wira mengusir tiga perempuan itu. Wajah mereka masam seketika. Lepas sudah dompet tebal yang diharap-harapkan. "Abdul, matikan musiknya!"
"Hei! Ini bahkan belum satu lagu. Biarkan aku selesaikan nyanyian ini dulu!" Jupri yang tengah berjoget sambil mengeluarkan suara sumbangnya, menekuk wajah. Menatap sebal kepada Abdul yang mematuhi perintah Wira. "Ini bahkan bukan kantor kelurahan. Untuk apa kamu tunduk padanya, Hei Carik?" serunya.
Jupri mengempaskan tubuhnya di atas sofa. Dalam hitungan detik, meja yang telah dibersihkan tiga perempuan tadi, kembali berceceran kulit kacang. Seperti sapi yang lupa diberi makan, mulut Jupri terus mengunyah, berdecap-decap.
"Berhentilah makan dan pikirkan segera solusi untuk masalah ini, Pak Jupri! Arman sudah tidak terkendali."
"Ayolah! Kamu itu lurah. Tidak sepantasnya segelisah ini hanya karena ancaman warga." Jupri tertawa-tawa. Kali ini, dia menyambar rokok milik Wira yang tergeletak di atas meja. Tanpa permisi segera menyulutnya.
"Bagaimana aku tidak gelisah jika dia mengancam akan menuntut sporadik ganda itu?"
"Itulah masalahnya!" sahut Jupri segera.
Jupri menoleh pada Abdul yang begitu tenang menikmati secangkir kopi hitam. Meski selalu menjadi bagian dari tim karaoke, Abdul tidak pernah sekali pun tertarik menjajal rasa dari miras yang telah dioplos tanpa takaran jelas. Ketika yang lain sudah hilang kewarasan, Abdul akan menjadi pencari solusi agar mereka bisa pulang tanpa kesusahan, tanpa diketahui satu pun warga.
"Aku pun bertanya-tanya." Jupri mengebrak meja, lekat-lekat menatap Abdul. "Bagaimana bisa sekretarismu ini membuat dua sporadik? Sudah jelas dia tahu ada sporadik sawah itu atas namaku. Kenapa masih dia keluarkan atas nama Sinta? Hei, Carik! Jangan-jangan ... kamu ini adalah pengkhianat di antara kita semua, ya?" Jupri menyeringai.
Sama sekali tidak ikut tersulut emosinya. Abdul justru kian khidmat menikmati sensasi pahit dari kopi yang diminumnya seteguk demi seteguk.
"Hei, Carik! Jawab!"
"Aku hanya melakukan apa yang dikatakan Pak Lurah," jawab Abdul datar. "'Buatlah sporadik siapa pun yang minta agar semua tanah di kampung Lembah lekas habis terjual'. Itulah yang dikatakan Pak Lurah padaku. Benar, bukan, Pak?"