Dua perempuan pemandu karaoke itu asyik meliuk-liukkan tubuhnya. Jupri kegirangan berada di tengah-tengah mereka. Semakin dua pemandu tersebut bergerak sensual, semakin Jupri jejingkrakan dan bernyanyi keras-keras. Ruangan remang kini gaduh bak panggung konser penyanyi dangdut bersuara sumbang.
Di ujung sofa, Wira setengah sadar sedang sibuk menggerayangi tubuh seorang perempuan pemandu. Terlupakan sudah olehnya bagaimana cara berlakon layaknya kepala desa penuh kharisma. Jika ingin teler, miras racikan Jupri memang paling manjur. Tidak salah jika Jupri selalu meracau perihal ingin membuka kelab malam di kampung Lembah yang sebentar lagi akan dipadati orang-orang kota.
"Saya kira," ucap Abdul sambil menyodorkan korek api kepada Hasan, "Pak Hasan tidak akan pernah lagi mau berurusan dengan Pak Lurah dan Pak Jupri."
"Kenapa kamu berpikir begitu? Apa karena urusan sawah dengan Rusdi?"
"Bukan." Abdul menggeleng. "Tapi, karena kejadian lima belas tahun silam. Apa Pak Hasan sudah lupa dan mengikhlaskan? Jika iya, sungguh itu adalah sebuah kebesaran hati yang langka."
Hasan mengisap rokoknya kuat-kuat, lantas meniupkannya perlahan. Asap rokok itu bergulung-gulung di depan wajah, mengingatkan dirinya pada peristiwa yang dimaksudkan Abdul. Lima belas tahun terlewat ketika takhtanya digulingkan paksa oleh rakyat.
Hari itu, awan hitam berarakan dari arah barat. Angin mengomandonya untuk berhenti tepat di atas kampung Lembah. Pada situasi sedemikian, para petani akan sangat bersemangat. Cangkul, arit, linggis adalah alat tempur yang akan dipersiapkan dengan gegas untuk dibawa meladang. Bibir mereka tidak akan berhenti berkomat-kamit, mengharap langit lekas meruntuhkan air. Satu, dua, tiga tetes hujan yang mulai menguarkan bau tanah basah akan disambut sorak warga. Berbondong-bondong mereka meninggalkan rumah, menuju ladang tempat palawija akan bertumbuh.
Kali ini pun, warga telah duduk di teras rumah masing-masing. Di atas sana, awan kelabu serupa kanopi yang luas membentang. Namun, hal tersebut tidak disambut oleh wajah-wajah semringah petani melainkan warga yang menanti komando dengan jantung berdentam-dentam.
Kilat berkelebat seperti sabetan pedang tajam. Disusul gelegar guntur yang membuat anak-anak berteriak ngeri, erat-erat memegangi daster ibunya. Satu, dua, tiga tetes hujan mulai membasahi tanah. Para petani masih bergeming di teras. Membiarkan perkakas berladang teronggok begitu saja. Tidak ada yang berani bangkit, pun bersuara. Sesuai perintah, mereka tidak boleh bergerak terlebih dulu sebelum komando diserukan.
Sementara itu, dalam salah satu rumah, seorang laki-laki tengah duduk gelisah. Dia berusaha keras menahan diri untuk tidak sampai meledakkan amarah. Di hadapannya, duduk seorang laki-laki sepuluh tahun lebih tua sedang membubuhkan stempel pada dua lembar kertas di atas meja.
"Sudah selesai. Sudah tertera stempel pada setiap surat pernyataan," ucap si laki-laki tua. Matanya menyipit ketika menyeringai. "Sekarang giliranmu. Lekaslah bubuhkan tanda tanganmu, Hasan!"
Lamat-lamat, Hasan menatap stempel pada dua lembar kertas tersebut. Selama tiga tahun delapan bulan ini, stempel itu adalah benda kecil paling berharga baginya. Dengan itu, dia merasa seperti raja yang mengatur sebuah negara. Semua mendatanginya dengan menundukkan kepala. Memberikan penghormatan dan rasa sungkan yang mendalam hanya demi satu bubuhan stempel dan tanda tangannya.
Demi bisa menjadi pemilik benda kecil itu, Hasan telah mengorbankan banyak hal. Waktu, tenaga, pikiran, juga uang. Bagi orang lain, semacam ini boleh jadi remeh, tidak penting. Namun bagi Hasan, ini berharga. Sesuatu yang amat dia impikan sejak lama.