Lembah Para Mafia

Yulistya Yoo
Chapter #38

Skenario Para Mafia

"Mengejutkan sekali melihatmu begitu setia menjadi jongos kepala desa macam dia." Hasan menggerakkan dagunya, mengisyaratkan Abdul untuk melihat ke arah Wira. 

Sebuah taksi yang telah dipesan oleh Abdul, menepi. Lima belas menit yang sangat melelahkan bagi sang carik. Menunggu di depan kelab karaoke dengan dua pemabuk yang akalnya entah sudah terbang ke mana. Wira dan Jupri, dua bedebah yang selalu merepotkan jika miras sudah mengambil alih kesadaran.

Setelah menghampiri Abdul untuk bertanya perihal kecocokan alamat, sopir taksi itu segera memasukkan Wira dan Jupri ke bangku belakang. Abdul sungguh lega bisa mendapatkan taksi menjelang pukul dua dini hari seperti ini. Meski Hasan membawa mobil, mereka semua tetap tidak boleh masuk ke kampung Lembah bersama-sama. Tidak boleh ada satu pun warga yang mengetahui jika permusuhan di antara empat orang ini hanyalah teatrikal belaka.

"Bicara soal jongos, kamu dulu juga banyak membantuku, Abdul," ucap Hasan sambil melambaikan tangan tanpa makna pada taksi yang telah melaju membawa Jupri dan Wira. "Sekretaris desa pada zaman itu sangat dungu. Dia hanya tahu cara menyetempel. Beruntung, ada pemuda cerdas sepertimu di kampung. Bahkan untuk membuat ragam proposal pun, meski tidak tamat sekolah, kamu melakukannya dengan rinci dan saksama. Itu luar biasa."

"Pak Hasan salah jika menganggap saya sebagai jongos," sahut Abdul datar. "Saya tipe orang yang melakukan segala sesuatu demi uang. Demi bisa tetap kenyang."

Hasan tertawa. "Iya, itulah Abdul, si penggembala kampung Lembah. Dan tentu saja aku tidak pernah menganggapmu sebagai jongos."

"Tidak?" Abdul menoleh. Jawaban Hasan ternyata mampu menarik perhatiannya. 

"Tentu tidak." Hasan menggeleng serius. "Masa itu, aku hanya punya satu tujuan ... membangun desa. Dan sangat menyenangkan ketika ada pemuda serba tahu yang bisa membantu. Aku merasa tidak sendirian dalam berjuang. Terima kasih banyak."

Dada Abdul tiba-tiba sesak. Dia membenci situasi yang tahu-tahu terasa mencekik, entah mengapa. Dia pun lebih membenci lagi melihat senyum tulus Hasan ketika mengucapkan terima kasih kepadanya.

"Hei, Abdul! Tidak ikut denganku saja? Kamu bisa turun di gerbang kampung jika takut ada yang melihat."

Abdul menggeleng. Dia melanjutkan langkah menghampiri taksi yang sudah menunggu di tepi jalan. Dia tidak ingin berlama-lama berdiri di dekat Hasan dan mendengarkan ocehan sang mantan kepala desa itu yang tampaknya sedang ingin bernostalgia.

***

Lihat selengkapnya