Di kampung Lembah yang tengah berlangsung program pembebasan lahan, makelar adalah profesi paling menarik bagi pemalas yang mengharap kekayaan instan.
Bualan. Itulah modal utama yang harus dimiliki jika ingin menjadi seorang makelar. Tidak perlu sarjana, bahkan yang buta akan bangku pendidikan pun tidak ada yang melarang. Asalkan piawai dalam hal bujuk rayu, semua lancar. Sungguh senang jika makelar-makelar ini mendapatkan klien kuno yang hanya tahu perihal cacing dan tanah gembur persawahan. Dengan sedikit kalimat penuh tipu daya, keuntungan ratusan juta bisa tergenggam dengan mudah.
Sejak program pembebasan lahan berjalan, kampung yang masyarakatnya hidup rukun lagi damai, dalam sekejap berubah bak kuburan. Antara tetangga tidak lagi saling bercengkerama. Semua sibuk membuat pagar mengelilingi rumah tersebab takut ada maling yang mencuri uang mereka. Persaudaraan dan kekerabatan telah luntur, berganti tatap saling curiga.
Suasana kampung yang sebelumnya damai nan tentram itu kini berubah. Bukan lagi tempat hidup para petani yang bahagia dalam sederhana. Namun, telah bertransformasi menjadi lembah para mafia tanah. Lantas, orang-orang yang kini sedang mencoba melakukan segala muslihat demi mengambil untung dari sawah milik Sinta adalah para mafia tersebut.
"Masing-masing, silakan membubuhkan tanda tangan pada kolom yang tersedia," ucap Dandy. "Itu adalah surat tutup mulut sekaligus perjanjian bagi hasil kita. Silakan!"
Jupri segera menegakkan punggung. Dia menjadi yang paling bersemangat untuk menuliskan namanya dengan huruf kapital pada salah satu kolom yang ada. Dengan wajah yang tidak lepas dari seringai, Jupri berseru girang, "Aku akan hidup nyaman untuk beberapa tahun ke depan tanpa perlu berlelah-lelah bekerja!"
"Tentu saja ... di dalam penjara!"
Suara seorang perempuan meningkahi seruan Jupri. Lima orang dalam ruangan itu membelalakkan mata, terkejut mendapati sosok yang tengah berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam.
"Si-Sinta?" Jupri bangkit serta-merta. "A-pa yang ... apa yang kamu lakukan di sini?"
"Apa lagi?" Sinta menyeringai. "Tentu saja untuk menangkap para mafia tanah!"
Wira yang duduk di samping Jupri segera bangkit. Senyum lebarnya telah musnah. Wajahnya terlipat, pelipisnya mulai dikucuri keringat. Dalam detik penuh ketar-ketir, mereka mulai berhitung dengan situasi. Jupri mengambil keputusan dengan mengabaikan kehadiran Sinta. Segera meraih pulpen di atas meja, meneruskan untuk membubuhkan tanda tangan beserta nama terang.
"Apa yang Anda lakukan, Pak Dandy?" seru Jupri ketika Dandy mencekal tangannya tiba-tiba. Dia menepis kasar tangan penanggung jawab kantor tersebut. Kembali menggerakkan tangannya dengan cepat. "Lihat! Sudah selesai! Akulah pemenangnya!"
Jupri tertawa girang sambil mengacungkan selembar kertas dengan tanda tangannya di sana. Sinta menatap prihatin. Betapa di matanya, Jupri adalah sosok serakah yang dungu dan gegabah.
"Hei! Hei!" Jupri berseru-seru mendapati Dandy yang meriah kertas tersebut, lantas merobeknya menjadi serpihan tidak berguna. "Apa yang Anda lakukan, hah?"
Dandy menunjuk kamera pengawas di pojok atas ruangan. "Semua sudah terekam. Apa itu sudah cukup untuk bukti, Bu Sinta?"