Lembah Para Mafia

Yulistya Yoo
Chapter #40

Harga Sebuah Kenangan

Monster kekuasaan itu tidak terbentuk dalam satu hari. Keserakahan yang terkungkung pada akhirnya meledak ketika waktu dan tempat telah mempersilakan. Namun, tidak pernah ada rumus yang menyebutkan jikalau kejahatan akan selalu bersanding dengan kejayaan. Tidak pernah ada.

Pada pojokan salah satu bilik dengan jeruji berkarat itu, seseorang duduk menggeram. Pakaiannya lusuh, rambut berantakan. Penampilannya yang gagah lagi klimis ibarat buih tersapu ombak, lenyap tiada sisa. Sesekali dia terbirit-birit memenuhi panggilan laki-laki berbadan tinggi, gempal dengan tato naga di punggungnya.


"Hei, duduk, berlutut!" perintah laki-laki bertato. "Menggonggong seperti anjing! Julurkan lidahmu!"

Lantas, bilik jeruji itu dipenuhi gelak tawa oleh lima orang di dalamnya. Sipir penjaga tetap tenang duduk sambil menyumpal telinganya dengan headset. Seakan-akan kegaduhan pada bilik itu sudah biasa, dia memilih tidak peduli saja. Begitulah yang laki-laki bertato itu lakukan pada tahanan baru tersebut. Jika tidak menyuruhnya memijit, pastilah akan dipelonco habis-habisan.

"Hei, julurkan lidahmu lebih panjang! Ya, begitu, bagus. Astaga, lihatlah! Seperti itulah wajah pemimpin yang rakus uang rakyat."

Si tahanan baru hanya bisa menggeram. Menahan kesal tanpa berani berbuat apa-apa. Betapa dia mengutuk bapak dan kakak laki-lakinya kini. Mereka sungguh-sungguh berpaling ketika nahas menimpa. Lepas jabatan seorang lurah, dipenjara, dianggap musnah dari kartu keluarga. Belum lagi istri cantik nan penurut yang tiba-tiba menggugat pisah. Sungguh sial nasib seorang Wira.

Pada ruang jenguk tahanan, sedang duduk seorang tahanan yang kondisinya tidak lebih baik dari Wira. Matanya nyalang menatap seorang perempuan di hadapannya. Hampir meledak jantungnya tersebab menahan diri agar tidak sampai memaki-maki.

"Aku tidak mau tahu bagaimana caranya, Ning Lah!" desisnya. "Kembalikan uang seratus juta itu untuk menebusku! Segera!"

"Astaga, Jupri!" Romlah balas mendesis. "Aku tidak mungkin menjual rumah Rosni. Mau tinggal di mana anak itu nanti? Kamu tahu sendiri kalau rumah tanggaku dan Bang Jaka sedang tidak baik. Masih bagus dia tidak menceraikan aku. Harusnya kamu tidak biarkan istrimu merebut rumah waris kalian dalam kondisi seperti ini."

"Siapa yang peduli!" Jupri mendelik. "Seratus juta itu satu-satunya yang aku punya sekarang. Aku harus segera keluar dari sini, Ning Lah! Aku tidak mau membusuk di tempat memuakkan. Jika uang itu tidak kembali, aku akan membuat Ning Lah menyesal."

"Baiklah, baiklah!" Romlah bangkit dengan kesal. "Setidaknya kamu harus bersabar. Aku juga dalam posisi sulit. Lusa aku akan datang lagi. Jaga dirimu baik-baik."

"Sialan!" Jupri memukul meja dengan bogemnya keras-keras. "Mereka semua akan membayar apa yang telah diperbuat padaku. Aku pastikan itu!"

Sementara itu, di hulu kampung Lembah, berdiri di sisi trembesi tua, seorang laki-laki. Dia telusuri kulit keras pohon tersebut. Seperti baru kemarin, batinnya. Dia duduk bersandar sambil mengudap singkong rebus ketika lelah membajak sawah. Dia biarkan sapinya beristirahat sejenak untuk merumput. Sebagai seorang pemuda desa, dia kerap bermimpi suatu hari akan menjadikan tanah lahirnya yang tertinggal ini lebih maju. Peralatan pertanian modern, pun menyulap jalan setapak berbatu menjadi aspal. 

Hasan. Dia mencoba mengingat kembali bagaimana rasanya terbakar semangat untuk memajukan desa kala itu. Memakmurkan hidup para petani dengan meningkatkan kualitas hasil panen. Namun, impian besar itu dia biarkan ditunggangi oleh manusia-manusia serakah. Penyesalan sering kali bertandang, memelintir nuraninya dengan kejam.

Lihat selengkapnya