Tidak terasa, hari libur yang terdengar lama itu, nyatanya terasa sangat singkat. Hari ini Nadin dan Juni seperti biasa, berboncengan berangkat menuju kampus. Juni terus bercerita bagaimana hari minggu telah resmi diubah menjadi hari bersama pacar. Juni menghabiskan hari minggu kemarin dengan berjalan-jalan di taman, makan di pinggir jalan, bahkan berkeliling mall. Saat Juni mengatakan tentang mall, Nadin teringat bagaimana ia akan membiarkan Juni berkeliling mall sendirian, sedangkan Nadin akan memilih mendekam di dalam toko buku sampai Juni menghampirinya dan mengatakan “Ayo pulang, Nana. Bentar lagi yang menunggu bukan lagi satpam.” Jurus itu sangat ampuh untuk mengembalikan jiwa Nadin ke dunia dan bisa diajak pulang.
“Jun, kamu ada kelas jam berapa?”
“Sembilan, Na.”
“Aku lapar”
“Aku ingin nasi kuning di dekat kampus. Kamu mau, Na?”
“Aku mau.”
“Oke.”
Jika saja Juni mempunyai tenaga lebih untuk bertanya ke Nadin perihal makanan apa yang ia mau, pasti Juni akan lakukan. Berhubung Juni juga sudah sangat lapar, lebih baik ia yang memutuskan. Juni sudah terbiasa dengan kata “terserah” yang keluar dari mulut Nadin jika itu berkaitan dengan menu makanan. Tetapi, setidaknya Nadin tidak banyak permintaan walaupun dia lebih sering mengatakan “terserah”.
“Kamu mau makan apa, Na?”
“Aku ikut kamu saja, Jun”
“Sambel korek mau?”
“Tapi jangan terlalu pedas ya”
Selesai. Tidak ada tapi yang lain yang dilontarkan Nadin. Ada suatu hari di mana Nadin mengutarakan keinginannya untuk makan sate madura di perempatan dekat kampus. Rasanya biasa saja menurut Juni, tidak menurut Nadin. Sate madura adalah menu andalan saat Juni sudah tidak bisa memikirkan mau makan apa.
“Apakah kamu dengar kabar tentang Keiran?” Obrolan meja sebelah terdengar oleh Nadin dan Juni.
“Dia mengalami kecelakaan dan meninggal.”
“Banyak yang mengatakan ke pergiaannya ada yang janggal.”
“Kamu juga mendengar beritanya?”
“Aku membaca di forum kampus.”