Lembar Usang Berkisah

Dwimarta
Chapter #1

Surat yang Tak Pernah Sampai


Agustus 2021


“Al, tolong ambilkan sesuatu di dalam lemari itu," pinta Rahajeng lirih saat putrinya masuk kamar membawa nampan berisi bubur dan teh hangat.

Mendengar permintaan ibunya yang beda dari biasanya, membuat Alana menaruh sarapan itu di atas meja. 

Sudah sebulan lebih Rahajeng terbaring lemah di atas tempat tidur. Kondisinya ini terjadi sejak meninggalnya Marni, nenek Alana, hampir empat puluh hari yang lalu. Rahajeng terlihat syok dan selalu berdiam di kamar hingga kondisinya semakin lama semakin lemah. Tak jarang pula menangis begitu menyayat hati. 

Dokter yang datang seminggu sekali mengatakan jika sebenarnya raga Rahajeng sehat-sehat saja. Tetapi psikisnya yang patut dikhawatirkan. 

Mendengar hal itu, Alana sangat khawatir. Keadaan saat ini lebih parah dibandingkan saat Rahajeng kehilangan Nugraha, ayah Alana, karena kecelakaan di luar kota. Ibunya saat itu berkali-kali pingsan tetapi badannya tidak sampai drop seperti ini. Kejadian itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu.

Sembari membuka lemari kayu, Alana sesekali melirik ke arah ibunya yang masih terduduk di atas kasur. Ia bingung dengan apa yang diminta Rahajeng. Karena di dalam lemari hanya ada tumpukan baju yang tersusun rapi.

“Di bawah tumpukan baju sebelah kanan atas, Al.” Perintah Rahajeng kali ini terdengar lebih jelas. Alana mengangguk pelan.

Begitu tumpukan baju diangkat, ternyata ada tumpukan lembaran kertas. Dengan menahan heran, Alana mengambil pelan tumpukan kertas yang sebagian besar warnanya telah menguning. Ia berbalik melangkah ke arah ibunya yang menatapnya sedih dan kosong. Perlahan Alana mengulurkan lembaran itu.

Rahajeng menggeleng lemah. “Kupasrahkan padamu, Al. Lewat surat-surat itu, aku yakin kamu bisa menemukan ibundaku.”

Alis Alana mengkerut. Tak paham dengan ucapan ibunya. Apakah rasa kehilangan bisa mengakibatkan seseorang berpikir tak waras? Kenapa nenek yang sudah dimakamkan harus ditemukan?

“Bukankah nenek Marni sudah meninggal, Bu?” tanya Alana hati-hati.

Rahajeng menoleh ke Alana dengan tatapan nanar. “Aku tidak sedang membicarakan nenek Marni.”

Alana terkejut. “La-lalu, maksud Ibu?”

“Surat itu yang bisa menjelaskan semuanya, Nak. Tolong, temukan ibuku … Ainun, dia ibu kandungku.”

Wajah Alana seketika pias.

“Kau tentu terkejut, Nak. Sama seperti aku yang masih belum percaya hingga saat ini,” ucap Rahajeng menatap kosong ke langit-langit rumah.

Alana berusaha menelan ludah. Meyakinkan bahwa ini bukan mimpi. Bagaimana bisa ibunya memendam masalah ini hingga badannya lemah kurus kering?

Lihat selengkapnya