Lembar Usang Berkisah

Dwimarta
Chapter #2

Kota Wijandra

Malam hari, para tetangga berpamitan pada Alana usai mengirimkan doa untuk almarhumah Rahajeng dan juga untuk nenek Marni.

Kondisi Alana masih terpukul. Tak menyangka, tepat empat puluh hari nenek Marni meninggal, ibunya menyusul. Pemakaman tadi siang berjalan lancar walau diiringi gerimis, seakan alam berpihak padanya, ikut merasakan kelabu hatinya. Yang lebih menyesakkan, berkali-kali kakek Dirga tak bisa dihubungi.

“Alana, jika kau membutuhkan sesuatu jangan sungkan panggil kami,” pesan bu Sum tetangga sebelah, sebelum pamit pulang. 

Alana hanya mengangguk pelan. Matanya sembap. Tak tahu lagi harus bilang apa. Setelah semua tetangga pulang, ia bertekad malam ini harus segera tidur. Tak mau mengingat kejadian dua hari berturut-turut yang sangat menyesakkan jiwanya. Apalagi kini ia seorang diri. Segala lara dipendam sendiri.

Saat merebahkan tubuh di atas tempat tidur, terbayang kembali amanah ibunya. Mencari keberadaan nenek Ainun. Sungguh, belum terpikirkan harus mencari darimana. 'Besok aku akan membaca surat itu,' batinnya memutuskan.

Malam ini jiwanya sangat lelah. Perlahan matanya terpejam. Larut dalam mimpi berlari mengejar Rahajeng yang hilang di balik bukit.


***


Pagi digelayuti mendung. Awan hitam tebal menutup keperkasaan matahari yang selalu garang menyiratkan sinarnya. Sesudah membereskan tikar yang semalam dipakai untuk pengajian, Alana duduk di tepi kasur, sudah tidak sabar membuka tumpukan lembaran kertas yang masih menjadi misteri bagi dirinya. Lembaran surat pertama pun mulai dibaca.


“01 Juli 1975

Nak, apa kabarmu? Ibu sangat merindukanmu. Semoga kamu baik-baik saja.

Kau tahu? Ibu membuat nasi kuning saat ini untuk merayakan tepat satu tahun usiamu sekarang, Rahajeng. Nasi ini, ibu bagikan ke tetangga. Semoga doa mereka menambah kasih sayang Allah padamu.

Doa ibu, semoga kamu panjang umur, sehat senantiasa, diberikan hidup yang indah dan penuh kebahagiaan. Mulutku tak henti tiap hari mendoakanmu, Nak.

Jangan lupakan ibu ya? Jika kau sudah sekolah dan pandai menulis, tolong balas surat ibu. Dan jika kau sudah besar nanti, tolong tengok ibu. Alamat kita, ibu tulis di bawah surat ini.

Peluk hangat ibu untukmu, Sayang.

Ibundamu terkasih,

Ainun.”


Air mata Alana mengalir perlahan. Dilihatnya, sebuah alamat tertera di bawah kanan lembar surat. Hatinya benar-benar merasakan sakit. Mungkin seperti ini rasanya hati Rahajeng setelah membaca surat demi surat. 

Alana mulai menguasai diri. Ia tak boleh larut dalam kesedihan. Dengan menghela nafas panjang, lanjut membuka surat kedua, ketiga sampai surat kelima. Bahasa nenek Ainun kurang lebih sama, selalu menanyakan kabar Rahajeng, mengulang tradisi yang sama membagi makanan, mendoakan putrinya, dan alamat pun tetap dicantumkan.

Lihat selengkapnya