Alana segera melipat surat itu dan dimasukkannya ke dalam tas. Teh yang tersisa segera dihabiskan. Kini ia tahu harus mencari siapa selain neneknya.
Di waktu yang sama, sekilas ia melihat seorang laki-laki berperawakan besar memakai topi menutupi sebagian wajah. Jaket serta kacamata yang dipakai serba hitam, masuk warung dan memesan minuman. Orang itu duduk membelakanginya.
“Mbak, tehnya mau nambah lagi?” Suara ibu penjual memecah lamunan Alana.
"Emm, tidak Bu, terima kasih." Alana tersenyum dan melanjutkan bertanya, "Maaf, apakah Ibu tahu arah ke desa Nagaran?”
“Nagaran?" Ibu itu lalu mengingat sejenak. "Oh ibu tahu! Desa itu ada di sebelah barat daya di kota ini. Jaraknya sekitar lima kilometer dari sini.”
“Jadi, saya harus ke arah mana, Bu?” tanya Alana kebingungan sambil berdiri menatap jalan di depannya.
“Mbak nanti keluar dari warung ini berjalan ke kanan sampai bertemu jalan raya. Lalu, menyebrang dan naik mobil angkot warna kuning. Bilang aja ke sopirnya kalau mau ke Nagaran. Nanti saya antar sampai ke angkot, Mbak.”
“Ti-tidak usah. Penjelasan Ibu cukup jelas. Terima kasih, Bu.” Alana mengeluarkan lembaran uang dari dompet dan menyerahkannya pada si ibu. "Kembaliannya untuk Ibu saja."
"Wah, terima kasih sekali, Mbak. Hati-hati di jalan!"
Alana mengangguk dan berjalan keluar dari warung mengikuti petunjuk ibu penjual tadi.
Begitu sampai di deretan mobil angkot yang menunggu penumpang, Alana bertanya pada salah satu sopir yang ada di belakang kemudi, tujuan ke Nagaran. Ia diarahkan ke mobil angkot yang ada di urutan paling depan. Alana pun menurut dan setengah berlari naik ke dalam angkot paling depan yang terlihat akan berangkat.
Teriknya mentari membuat bau keringat bercampur di dalam kendaraan besi berjendela melingkar itu. Alana yang duduk dekat pintu, sedikit tertolong karena embusan angin yang mendorong semua aroma di dalam keluar melalui celah jendela angkot.
“Mbak, kita sudah sampai di depan jalan menuju Nagaran,” ucap pak sopir begitu mobil angkot berhenti. Lima belas menit tak terasa bagi Alana, karena ia menikmati pemandangan kota yang benar-benar baru baginya.
“Oh ya, Pak.” Alana bergegas turun dan mengulurkan lembaran rupiah pada pak sopir. Pria paruh baya itu mengangguk dan menjalankan mesin meninggalkan residu gasoline di penciuman Alana. Tak ayal ia segera menutup hidungnya.
Jalan masuk ke desa Nagaran ini sudah penuhi perkampungan. Alana mengikuti jalan itu. Setelah kurang lebih dua ratus meter berjalan, di depan mata Alana tersaji hamparan sawah yang mulai menguning dan bukit menjulang nan hijau menambah kesan eksotik desa ini.
Tapi, nampak sesuatu yang tak selaras dengan pemandangan yang indah itu. Sekitar seratus meter di hadapannya, ada jalan tol yang membelah persawahan. Desa ini nampak tidak sepenuhnya alami lagi.
Semilir angin menuntun Alana melanjutkan perjalanan. Sebelum masuk ke terowongan yang berada di bawah jalan tol, ada papan nama bertuliskan ‘Desa Nagaran’. Ia tersenyum. Aku telah sampai.
Langkahnya dipercepat. Tak sabar rasanya mengunjungi nenek Ainun. Hanya beliau sekarang tumpuan Alana berbagi rasa.
Setelah melewati terowongan, persawahan, kebun pisang, Alana sampai di sebuah sungai yang membelah jalan itu. Aliran air yang bening menarik hatinya untuk turun dari jembatan. Ia ingin membasuh wajahnya yang dirasakannya sangat kotor.
Sesampainya di bawah, di atas bebatuan, sepatunya dilepas. Perlahan ia masuk ke aliran sungai yang dangkal dan berbatu. Alana segera membasuh muka, tangan dan kakinya. Benar saja, dinginnya air mampu serasa membawa energi baru untuknya.
Tak jauh dari sana, ada sepasang mata menatapnya.
***
Setelah beristirahat sebentar di bawah pohon yang berada di tepi sungai, Alana bergegas bangun meneruskan perjalanan.
Ia menyusuri kembali jalanan tadi. Saat berjalan, tak jauh di belakangnya, ada seorang bapak mengayuh sepeda, seperti habis pulang dari sawah. Begitu semakin mendekat, Alana melambaikan tangan.