“Apa?” Alana limbung. Kalau saja tangannya tak memegang pagar bambu di depannya, pasti tubuhnya sudah terjatuh. Hatinya berusaha dikuatkan. Masih ada harapan. Kakek! Ya, kakek kandungnya.
“Lalu bagaimana dengan kakek saya? Di mana beliau?” tanya Alana tak sabar pada wanita itu.
“Nenek saya pernah bercerita kalau suami bu Ainun jauh lebih dulu meninggal, Mbak. Tapi tepatnya kapan, saya tidak tahu.” Wanita muda itu memandang kasihan pada Alana yang terlihat syok dan pucat.
Seketika Alana merasa bahwa dirinya sekarang adalah sebatang kara. Matanya memanas. Tapi berusaha ditahan agar air matanya tidak jebol.
“Mbak, dimana makam nenek Ainun?” tanya Alana serak mengalihkan hatinya yang duka.
“Makam beliau ada di bawah bukit, ujung barat." Tunjuk wanita itu ke arah yang dimaksud. Lalu ia memegang tangan Alana. "Maafkan saya, Mbak, tidak bisa mengantarkan ke makam. Anak saya masih bayi, sedang tidur di kamar.”
“Oh, tidak apa-apa, Mbak. Terima kasih informasinya. Saya akan ke sana sekarang.”
“Yang sabar ya, Mbak. Saya menempati rumah di sebelah ini. Kalau butuh apa-apa, silakan saja datang ke rumah saya,” tawar wanita itu ramah.
“Terima kasih banyak. Permisi.” Alana memaksakan senyum dan segera berlalu. Langkahnya tergesa keluar dari pekarangan rumah dan berjalan menyusuri jalan menuju bukit hijau yang sekarang berdiri kokoh di hadapannya.
Setelah berjalan 200 meter, ada papan petunjuk yang dipaku di pohon sawo tua yang tumbuh persis di pertigaan jalan, bertuliskan arah makam. Alana mengikuti petunjuk itu hingga sampai di sungai besar yang membentang di bawah bukit. Airnya sangat bening. Bebatuan di dalam air terlihat jelas dari atas. Sungai itu dangkal walau arusnya tergolong deras. Di sepanjang sungai berderet rumah yang sebagian besar terbuat dari bilik bambu. Banyak wanita melakukan aktivitas rumah tangganya di sungai ini. Dari mencuci baju, mencuci perkakas rumah tangga, mandi bahkan anak-anak kecil bermain dengan riangnya di antara bebatuan besar.
Pemandangan itu sebenarnya sedikit menghibur Alana, tapi kenyataan yang ia hadapi sekarang lebih menyesakkan dari sekedar melihat keceriaan anak-anak itu. Nenek Ainun yang ia harapkan masih ada, ternyata sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Persis dengan tahun kematian ayahnya, Nugraha. Hati Alana terasa pilu.