Lembar Usang Berkisah

Dwimarta
Chapter #5

Kakek Badar

Sebuah tepukan halus mengejutkan Alana. Ia berusaha membuka mata yang disambut semburat sinar mentari senja, cukup menyilaukan. Perlahan berusaha menyatukan kesadaran. Begitu menyadari dirinya sudah tertidur di atas pusara neneknya, ia terkejut sampai jatuh terduduk ke belakang.


Tepukan halus sekali lagi, membuat Alana menengok ke sosok di balik punggungnya. Seorang lelaki tua.


“Ma-maaf, saya tertidur disini.” Alana merasa tak enak hati ketahuan telah tertidur di atas makam dan buru-buru bangun sambil membersihkan tanah kering yang menempel di sebagian wajah dan pakaiannya.


Lelaki tua itu tersenyum. “Kau tentu lelah, Nak.”


Alana terkesima dengan keramahan orang yang telah membuatnya bangun ini. Tak sadar dirinya mengangguk pelan. Matanya tetap mencuri pandang sosok lelaki tua di hadapannya. Usianya sekitar tujuh puluh tahun, kerut hampir merata di seluruh wajahnya, matanya sudah senja tetapi rambut, alis serta cambangnya belum sepenuhnya memutih. Badannya pun masih terlihat segar. Sambil mengulurkan tangan, ia bertanya, “Ka-kakek, siapa?” Sosok lelaki tua ini begitu membuatnya penasaran.


“Tadi ada tetangga menemuiku di ladang." Lelaki yang pantas di sebut dengan panggilan kakek ini menyambut tangan Alana tetapi tak langsung menjawab pertanyaan yang terlontar. Mata beliau beralih melihat ke batu nisan Ainun.


"Tetanggaku bercerita baru saja mengantar seorang gadis yang menanyakan Ainun."


Alana langsung teringat akan lelaki sepuh yang tadi mengantarnya ke rumah nenek Ainun.


"Tadi aku turun dan mencarimu ke rumah Ainun, Nak. Rupanya kau sudah tak ada. Aku sudah menduga kau bakal ke makam ini." Kakek tersenyum. "Aku dikenal di desa ini dengan panggilan pak Badar.”


Alana terkejut sejadinya. "Jadi Anda ... Kakek Badar!" Kedua tangannya reflek memeluk sosok lelaki yang pernah tertulis di surat neneknya. Jiwanya seakan masih punya harapan, walau hanya berjumpa dengan sahabat neneknya.


Badar nanap sekaligus bahagia saat Alana memeluknya. Tak menyangka generasi Ainun begitu senang bertemu dengannya. Perlahan tangan tuanya merengkuh tubuh yang sedang menumpahkan tangis di pundaknya. Bulir bening pun turut muncul di sudut matanya.


***


Rumah Badar adalah satu-satunya rumah yang berdiri kokoh lebih besar dari yang lain. Dinding dan tiangnya terbuat dari kayu jati dicat hijau tua. Letaknya ada di kaki bukit. Pemandangan sungai dan sawah terhampar di depan mata. Sekeliling rumahnya ditanami pohon singkong, pisang, mangga, dan pohon jambu biji. Cukup sejuk.


Langit yang perlahan berubah menjadi petang, menyuguhkan pemandangan yang syahdu di bawah lampu petromak yang menyala terang di kedua sisi teras. Seusai salat, bau singkong goreng yang sudah tersaji di meja teras, membuat perut Alana meronta.


“Jangan sungkan, Nak. Ayo, makanlah. Kau tentu sangat lapar,” tawar Badar membawakan teh hangat untuk tamunya. Sementara di seberang cangkir tamunya, sudah tersaji kopi panas di dalam gelas yang terbuat dari seng, lengkap dengan tutupnya. Badar pun duduk sambil menyalakan cerutu.


“Terima kasih banyak, Kek.” Alana menyeruput teh hangat yang sangat khas bau dan rasanya. Sepotong singkong goreng telah berpindah masuk ke dalam mulutnya. Singkong berbumbu yang renyah dan gurih. Sangat nikmat.


Suasana hening. Mereka berdua duduk dalam diam. Beberapa lama kemudian, Alana menghentikan kunyahannya saat sadar dirinya sudah menghabiskan separuh piring lebih. Ia benar-benar tersihir dengan kelezatan singkong selain memang perutnya sudah sangat lapar.


Lihat selengkapnya