“Apa? Bibi Ayu pergi?” lirih Alana tak percaya. Tubuhnya lemas. Harapan akan kebahagiaan seakan tercerabut habis.
“Iya, Nak. Saat itu dengan wajah pucat, Ayu datang ke rumah ini. Menyerahkan kunci rumah dan menitipkan semua ladang serta sawah padaku. Ia tidak bilang hendak ke mana. Aku sudah mencegahnya, tapi Ayu sangat panik seakan diburu sesuatu. Diriku tak sanggup mengejarnya karena dia menyewa ojek motor yang melaju sangat kencang saat itu." Mata Badar menunjukkan penyesalan. "Maafkan aku, Nak.”
Alana terdiam. Batinnya sedih. “Apakah, bibi tak pernah tahu jika punya saudara kembar?”
“Ia tak pernah tahu. Ainun menyimpan rapat rahasia ini.”
Tiba-tiba singkong goreng di hadapannya tak lagi menarik minat Alana. Batinnya benar-benar sulit menelan kenyataan kehilangan satu per satu keluarganya. Rasa sesak dan mual tiba-tiba menyerang tubuhnya. Keringat dingin mulai mengucur.
“Alana … mulai sekarang kau tak usah gundah dan merasa sendiri. Meski aku adalah sahabat kakek nenekmu, tapi anggaplah aku ini kakekmu. Aku tak mungkin membiarkan cucu Birawa dan Ainun hidup sebatang kara.” Badar tiba-tiba saja sudah berada di sisi Alana dan mengusap rambutnya lembut. Ia prihatin dengan keadaan cucu Birawa yang harus menerima kenyataan menyedihkan. “Sekarang beristirahatlah. Kau tentu sangat lelah. Ada cucuku di dalam yang sedang menyiapkan kamar untukmu. Nanti jika makan malam telah siap, kakek akan memanggilmu.”
Mau tak mau perintah itu membuat Alana mengikuti langkah Badar menuju kamar yang terletak di sebelah ruang tamu. Ia ingin membuang sejenak kesedihan hatinya. Sungguh, ia ingin segera merebahkan tubuh. Raga dan jiwanya sudah sangat lelah.
“Semoga kamu nyaman, Nak. Anggap saja rumah ini seperti rumahmu sendiri,” ucap Badar sambil membuka pintu kamar.
Alana mengangguk pelan. Matanya masih terlihat sembap. Perlahan melangkah masuk lalu pintu kamar ditutup. Jaketnya dilepas dan ditaruh di gantungan belakang pintu. Tas ransel digeletakkan di kursi kayu yang berada di sebelah meja kecil. Ruang berukuran tiga kali tiga meter ini sangat bersih dan rapi. Hanya dipan, lemari di ujung dan meja kursi. Sebuah cermin oval tak terlalu besar berada di dekat jendela yang sudah tertutup rapat. Alana duduk di tepi ranjang. Kasur kapuk yang isinya terasa masih padat menggodanya segera merebahkan tubuh.
Saat berbaring, seluruh tulangnya baru terasa sangat pegal. Ia telah menempuh perjalanan seharian. Tertidur di makam tadi cukup membantu mengurangi penat, tapi tak cukup mengurangi lelah batinnya. Satu per satu memorinya kembali pada kejadian ibunya meninggal, sampai dirinya berada di tempat ini. Takdir seakan sudah mengatur itu. Sangat cepat kehidupannya berubah. Ia tak mempedulikan ucapan Badar tentang harta kakek nenek kandungnya. Tapi kehilangan orang-orang yang ia sayangi lebih dari kehilangan harta duniawi. Buat apa dirinya menikmati semua itu jika hanya sebatang kara?
Alana berusaha memejamkan mata. Tapi tetap saja tak bisa. Batinnya gelisah memikirkan nasibnya setelah ini. Dirinya tak mungkin berlama-lama di rumah Badar walau beliau sudah menyuruhnya untuk tinggal di sini.
Rupanya sebuah aroma mengusik indra penciumannya. Aroma khas binatang kambing. Spontan Alana langsung terbangun. Rasa penasaran mengusiknya. Ia butuh hiburan. 'Jika diam, aku bisa gila!'
Perlahan tangannya membuka pintu, ia sudah tersihir oleh bau yang berasal dari belakang rumah. Suasana dalam rumah sepi. Lalu kakinya keluar melalui pintu samping yang ada di sebelah ruang tamu. Senyawa karbonil dan asam-asam lemak yang jarang ia hirup di kota, menarik indranya untuk mendekati asal bau. Jika sebagian besar orang enggan mendekati bau prengus, beda dengan Alana. Dari dulu, ia selalu tertarik dengan bau alami pedesaan dengan segala isinya. Mungkin karena kenyataan yang baru saja ia ketahui, bahwa dirinya aslinya adalah orang desa. Hal itu menjadi sesuatu yang wajar.