"Karena Kakek dan Bima sudah mengembangkan semua harta peninggalan kakek Birawa, menurutku yang pantas menerima hasilnya adalah kalian berdua. Bukan saya," sanggah Alana.
Badar langsung terkekeh mendengar jawaban itu. “Kamu sama keras kepalanya dengan Birawa. Sudah. Ayo, makan dulu."
Alana memutuskan tak meladeni celetukan Badar dan mereka bertiga pun makan dalam diam. Namun, tak dapat dicegah, ucapan Badar tadi cukup menyita pikirannya. Tentu tak mudah menjaga harta Birawa yang tak sedikit ini. Walau ia yakin kini dirinya telah bertemu orang baik. Apalagi Badar begitu mudah menyerahkan semua harta yang begitu dijaga dan diperjuangkan selama ini saat bertemu dengan dirinya sebagai penerus Birawa. Sungguh dirinya tak mengira begitu tulus persahabatan antara Badar dan kakek nenek kandungnya.
Tak terasa makan malam telah usai. Alana berdiri bermaksud membereskan piring yang ada di meja, namun Bima ikut berdiri mengambil alih piring yang ada di tangannya. “Sudah ditumpuk di sini dulu piringnya. Aku sudah biasa.”
“Ada perempuan disini, biar aku saja,” tolak Alana, melirik sekilas.
"Tak baik jika tamu yang baru datang ikut sibuk di dapur," debat Bima, tak mau kalah.
“Rupanya kalian sudah kompak untuk saling membantu,” goda Badar dengan ekspresi tenang.
Spontan mendengar itu, Alana dan Bima berhenti berdebat. Tanpa diberi aba-aba, mereka kompak saling melayangkan pandang dan duduk kembali di tempat semula.
“Bima sudah biasa meladeniku sejak Lastri, istriku, meninggal lima tahun yang lalu. Bima pasti tak punya kerjaan jika kau mengerjakan pekerjaan dapurnya,” ujar Badar tersenyum melihat Alana.
Alana melirik sekilas ke arah Bima yang melanjutkan minum teh yang belum habis sedari tadi. Mengalihkan rasa sebalnya pada cucu Badar, ia memandangi sosok sepuh yang wajahnya masih terlihat segar. Dengan kehati-hatian, memberanikan diri bertanya akan ganjalan yang masih memenuhi kalbunya, “Kek, bolehkah saya bertanya?"
"Ada apa, Nak?"
"Kenapa Kakek mengatakan jika semua harta yang ditinggalkan kakek nenek adalah punyaku? Bukankah, bibi lebih berhak memilikinya, meski beliau telah pergi?”
“Alana. Kau adalah keturunan Birawa. Pasti Ayu dan dirimu sama-sama berhak mewarisinya. Suatu saat kau pasti paham apa yang kukatakan ini.”
“Kenapa Kakek begitu ikhlas melakukan ini semua? Menjaga dan merawat semua harta kakek nenek saya?” Alana sungguh tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Meski di detik berikutnya ia menyesali pertanyaan yang terlanjur terlontar ini.
“Sifatmu memang persis seperti Birawa, selain keras kepala juga omongannya blak-blakan." Badar sama sekali tidak tersinggung dengan pertanyaan Alana, justru air matanya keluar karena tak dapat membendung tawa. "Bagaimana aku tidak ikhlas? Kakek nenekmu yang mengentaskan aku dan generasiku dari lubang kemiskinan. Masih ingat 'kan yang kuceritakan tadi? Aku tak jadi merantau gara-gara kakekmu.” Masih dengan tertawa terkekeh, ia berdiri meninggalkan Alana dan Bima di ruang makan.
Jawaban Badar cukup melegakan Alana. Reflek, ia mengembuskan napas lega. Tapi tidak di detik berikutnya. Ia tersadar bahwa masih ada Bima di sampingnya. Mereka terdiam tanpa bicara cukup lama. Bima masih dengan tenangnya menyesap teh hangat.
“Aku sudah membuatkan rekening khusus untuk hasil sawah, ladang dan ternak kakek nenekmu. Sebelumnya, kakekku menyimpan uang hasil itu semua di dalam lemari. Maklum orang tua. Aku rasa tidak aman. Jadi kusimpan di Bank,” terang Bima tiba-tiba dan berhasil membuat Alana melongo.
“Jadi kau lulus kuliah hanya untuk mengurus ini semua?” tanya Alana tak mengerti.