Bima tertawa tergelak. Geli melihat wajah Alana yang percaya dengan pertanyaan konyolnya.
“Hei, kenapa kau tertawa?” tanya Alana tak mengerti. Masih mengira Bima serius dengan ucapannya.
“Apakah hidupmu selalu datar-datar saja? Hingga pertanyaanku seperti itu saja kau percaya. Aku hanya bercanda!”
Candaan Bima berhasil membuat Alana sekonyong-konyong meluapkan kekesalan, “Benar! Belum ada dua bulan ini hidupku penuh kejutan!"
Bima langsung menghentikan tawanya dan menyadari kekeliruannya. Tak menyangka candaan yang ia lontarkan mengembalikan Alana ke memori sebelumnya.
“Maaf,” lirih Bima merasa sangat bersalah. Kemarin dirinya sempat mendengar percakapan Badar dan Alana di teras. 'Kematian ibu dan nenek angkatnya tentu sangat membuat dia terpukul. Apalagi setelah sampai desa ini, ia mengetahui bahwa semua keluarganya sudah meninggal. Termasuk bibi Ayu yang pergi entah kemana,' ucap batinnya menyesal.
Alana mengendurkan rasa kesalnya. Ia berkata lirih sambil menatap hamparan sawah yang jauh terbentang, demi mengalihkan perasaannya yang tidak menentu, “Sebenarnya, keberadaan nenek kakek kandungku yang paling kuharapkan daripada semua ini."
Bima ikut menatap hamparan sawah dalam diam.
“Dan bibiku. Aku tak tahu dia di mana.” Alana menggumam tapi masih terdengar oleh Bima.
“Pasti dirimu sangat kehilangan mereka.” Bima menoleh ikut bersimpati.
“Sangat.”
Bima menatap Alana yang belum mengalihkan pandangannya dari hamparan sawah di depan. Tatapan itu kosong.
“Oh ya, tentunya kau ingin mengenal bukit ini bukan?” ucap Bima tiba-tiba demi mengalihkan duka Alana. Ia tak mau melihat gadis itu semakin larut dalam kesedihan. Gerakan tubuhnya beralih membelakangi hamparan sawah.
Alana menoleh lalu mengikuti arah tubuh Bima melihat bukit yang berdiri gagah di belakangnya. “Bukit ini?”
“Ya. Bukit Emas.”
“Bukit Emas?” Pandangan Alana masih tak mengerti saat melihat bukit yang tinggi menjulang dan terlihat tak ada kehidupan.
“Kau kira ada emasnya?” tanya Bima balik dengan senyum menggoda nan menawan. Alana lantas mengembangkan bibir, tersenyum malu. Bima lebih senang melihat senyuman itu daripada melihatnya bersedih.
“Siapa tahu asal mula bukit ini memang banyak emasnya,” tebak Alana asal-asalan.
Suatu ide tiba-tiba muncul di kepala Bima. “Bagaimana kalau kita berpetualang sebentar di bukit ini?” usulnya.
Mata Alana membola. “Sebentar katamu? Lihat! Mendaki sampai sini aja aku sudah terengah-engah dan memakan waktu. Trus, gimana kalau mendaki ke atas sana? Kapan pulangnya?” protesnya.
“Aku mulai terbiasa dengan protesmu,” sungut Bima.