Lembar Usang Berkisah

Dwimarta
Chapter #11

Rasa Bersalah

Melihat sosok datang dari kejauhan, Badar dan orang-orang yang berkumpul segera berlari ke arah datangnya dua orang yang sudah mereka cari sedari sore tadi.


“Dari mana saja kau, Bim,” tanya seorang tetangga yang melihatnya pertama kali.


Belum sempat menjawab, Bima terpotong ucapan bu Sri, tetangga sebelah rumah, yang trenyuh dengan keadaan Alana pingsan dalam gendongan. “Kasihan sekali, gadis ini. Cepat, kita baringkan ke kasur. Bajunya juga basah."


Beberapa orang langsung mengambil alih membopong Alana yang masih pingsan dari tangan Bima dan bergegas masuk ke dalam rumah.


Wajah Bima pucat dan tubuhnya sangat kotor. Saat orang-orang sibuk mengurus Alana, Badar mendekat ke arahnya. Tatapannya penuh tanya dan amarah.


Bima yang menyadari itu, langsung berucap, “Maafkan aku, Kek. Aku yang salah.” 


Badar mengembuskan napas kesal. “Tahukah, kau. Aku mencari kalian sedari tadi?” Rahangnya mengeras menahan amarah. Matanya berkaca-kaca, seolah ingin memuntahkan segala rasa yang tak bisa keluar dari tadi.


Bima menunduk. Tubuhnya yang terkena semilir angin malam merasakan kedinginan hingga membuatnya menggigil. Tapi kemarahan Badar lebih membuat hatinya menciut. Ia benar-benar pasrah.


“Ke mana kalian pergi?” tanya Badar menekan suaranya.


“Kami ... kami masuk ke bukit Emas.”


“Apa?!” Badar terkejut mendengar jawaban itu. Tak menyangka jika Bima dan Alana lancang masuk ke bukit Emas tanpa meminta izin terlebih dahulu padanya. Beberapa orang yang masih mengerubungi mereka pun menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir dengan kecerobohan cucu Badar.


“Ini sepenuhnya kesalahanku, Kek. Aku bermaksud menghibur Alana yang masih syok dengan masalahnya--”


“Apakah tindakanmu menyelesaikan masalahnya?” potong Badar senewen. Bima menggeleng pelan.


“Kau malah menambah masalah! Dia cucu Birawa dan Ainun yang harus kita lindungi, bukan dihibur di tempat wingit yang kamu saja belum tahu cara mengatasinya,” dengus Badar kesal lalu membalikkan badan meninggalkan Bima dengan langkah lebar.


Bima hanya bisa memandang punggung kakeknya sebelum menghilang masuk rumah. Rasa bersalah kian menumpuk di dadanya.


“Sudah, Bim. Kau ganti baju dulu. Kenapa pula bajumu bisa basah begitu? Padahal dari tadi tidak turun hujan?” ucap Satriyo, teman karib Bima, yang tanpa diduga sudah ada di sampingnya.


Bima menoleh terkejut ke arah karibnya. Tidak hujan? Bukankah tadi di dalam hutan, hujan begitu deras?


Bima lalu beralih memandang bukit di belakangnya yang tampak gelap di malam hari. Muncul desiran aneh di hatinya.


Lihat selengkapnya