Bima langsung menoleh ke sumber suara. Ternyata, Alana telah siuman!
“Alana!” Bima berseru senang, langsung mendekat kembali ke sisi tempat tidur.
Badar yang juga menyadari cucu Birawa tersadar, sangat senang sekaligus cemas. Ia mengikuti langkah Bima. "Kau sudah sadar, Nak?"
Pandangan Alana terlihat kebingungan. Suaranya lemah. “Kenapa aku ada di kamar ini. Bukankah ....”
“Kau tadi pingsan, Nak," sahut Badar lembut mengusap rambut Alana.
“Pingsan?” dahi Alana mengernyit mencoba mengingat kejadian tadi. Lalu ia melihat sosok yang bersamanya di hutan juga ada di kamarnya. "Bima? Kau ada di sini?"
Melihat Alana yang masih kebingungan, Bima menjawab dengan anggukan dan segera mengulurkan secangkir teh hangat dan memandunya untuk duduk. “Al, ayo minum ini selagi hangat."
Alana menurut karena perutnya sangat melilit. Perlahan ia menyesap teh itu. Rasa hangat langsung menjalar ke seluruh tubuh.
Badar mengambil bubur yang sudah dibuatkan bu Sri, lalu dengan sabar menyuapi Alana hingga tandas tak bersisa.
“Tadi di hutan benar-benar mencekam.” Memori Alana yang sudah kembali, membuatnya menutup mata seakan ingin melupakan kenangan buruk tadi.
Badar dan Bima saling pandang. Kemudian Badar berbisik pada cucunya. "Lebih baik jangan kau beritahu apa yang kuceritakan padamu,"
Bima mengangguk. Mereka sepakat belum saatnya menceritakan pada Alana semua yang ia lihat tadi dan fakta jika gadis ini adalah keturunan kerajaan Nagaran.
“Lebih baik kamu istirahat lagi biar besok badanmu segar kembali,” saran Badar.
"Alana takut, Kek." Alana membuka mata lalu menoleh ke arah sosok tua di hadapannya seolah meminta perlindungan.
"Selama ada kakek, Bima dan doa-doamu, maka semuanya akan baik-baik saja," redam Badar mengusap lembut cucu sahabatnya.
Alana tersenyum samar. Ingin ia bertahan duduk, namun kepalanya terasa berat. Dengan masih ditemani Badar dan Bima, ia kembali berbaring. Tak lama matanya kembali terpejam menuju ke alam mimpi.
***
Sangit kayu bakar dan rebusan rempah hadir ke indra penciuman Alana. Ia mengenali wewangian ini. Ada aroma jahe, kunyit, kencur, serai, cengkeh dan daun pandan. Bau rempah-rempah ini dulu juga sering dibuat Rahajeng semasa hidup. Matanya perlahan terbuka, lalu berusaha bangkit dari kasur. Pandangannya masih berkunang-kunang. Walau begitu, jiwanya berkeras tetap bangun. Tangannya menggapai pinggir tempat tidur.
Setelah berhasil duduk, matanya kembali terpejam untuk menghilangkan pusing yang masih meraja di kepalanya. Perlahan kakinya beringsut turun. Semburat sinar mengusik matanya membuka kembali. Alana menoleh ke arah jendela yang rupanya sudah dibuka. Entah, oleh Badar atau Bima. Warna langit sebentar lagi menuju terang. Perlahan kakinya melangkah keluar kamar. Tangannya merambat di dinding kayu. Begitu sampai di dapur, dilihatnya Bima sedang sibuk menyiapkan sesuatu.
Bima terkejut melihat kehadiran Alana. “Hai, kau sudah kuat bangun?” Ia mendekat, masih sangsi dengan fisik Alana yang masih terlihat lemah. “Kau mau ke mana?”