Alana berjalan menuju jendela. Sepanjang usianya di umur dua puluh dua tahun, baru sekali ini harus berurusan menyibak teka-teki sebuah surat. Ia yakin kata-kata yang tertulis di surat ke-12, nenek Ainun seolah meninggalkan sesuatu.
'Lalu, apakah kakek Badar tahu ‘sesuatu’ itu?' Terdorong akan rasa ingin tahunya yang tinggi, Alana segera keluar dari kamar mencari Badar. Langkahnya menuju teras rumah. Begitu melihat sosok itu, ia langsung menyapa, “Kakek?”
Sosok sahabat kakek neneknya itu masih sibuk mengerjakan sesuatu di depan rumah.
“Oh, sini, Nduk,” sahut Badar, masih menganyam bilah bambu yang menumpuk di sampingnya.
“Sedang apa, Kek?” tanya Alana ikut duduk di bawah.
“Sedang membuat alat kukusan yang biasa digunakan untuk memasak nasi dalam porsi besar. Mungkin kau pernah menjumpai di pasar?”
“Aku baru lihat. Hmm, menarik. Bentuknya kerucut.”
“Kau bisa belajar kalau mau. Oya, ada apa memanggilku? Ada yang ingin kau tanyakan, Nak?”
Wajah Alana yang semula biasa berubah jadi serius dan gegas bertanya, “Kek, apakah nenek Ainun pernah cerita pada kakek atau bahkan pada nenek Lastri, jika beliau meninggalkan 'sesuatu' pada anak-anaknya?”
Pertanyaan Alana berhasil membuat Badar menghentikan kegiatannya. Ia pun melakukan hal serupa, menatap Alana dengan serius. “Bukankah peninggalannya sudah kuceritakan padamu semua. Dan Bima juga sudah menunjukkan semua ladang, sawah dan kebun buah-buahan padamu, Nak?”
Alana tak mau Badar salah paham, ia segera meralat ucapannya. “Maksud Alana, selain itu?”
Wajah Badar masih terlihat serius, seperti memikirkan sesuatu. “Apakah maksudmu seperti surat wasiat?”
“Iya, ya. Semacam itu.” Alana bersemangat. Matanya berubah berbinar.
Badar menggeleng lemah. Detik selanjutnya alisnya bertaut. “Kenapa kau menanyakan itu, Nak?”
Alana menghela napas panjang. Pertanyaan Badar sempat terbersit di pikirannya tadi. Jangan sampai pria sepuh ini salah paham dan mencurigainya macam-macam. Tapi jiwanya mempercayai kebijaksanaan Badar. Ia harus menceritakan yang sebenarnya. “Kek ... nenek Ainun mengatakan sesuatu di dalam suratnya pada saat ibuku berusia dua belas tahun. Aku masih penasaran, apakah ada sesuatu yang lain, selain harta sedemikian banyaknya yang ditinggalkan kakek Birawa dan nenek Ainun pada ibu dan bibi Ayu?”
Badar terdiam. Matanya beralih menatap hamparan sawah. Ia mulai mengingat segala peristiwa yang dulu terjadi. “Dua belas tahun umur Rahajeng dan Rahayu, berarti surat itu ditulis tahun seribu sembilan ratus delapan puluh enam.”
“Nah benar, Kek.” Alana tetap menunggu sesuatu keluar dari mulut kakek Badar.
“Saat itu … Ainun tidak memberi tahu apa-apa. Cuma … sebentar.” Badar memejamkan matanya, alisnya berkerut tanda sedang bekerja keras mengingat sesuatu. “Ah, ya. Lastri pernah bilang padaku kalau Ainun menyuruhnya agar besok jangan datang ke rumahnya. Dan disuruh datang kembali esok lusa. Ainun tak mengucapkan alasan apapun saat itu. Aku heran mendengar laporan istriku, tak biasanya Ainun bersikap seperti itu. Biasanya hal kecil apapun selalu diceritakan pada kami. Saat itu seperti ada sesuatu yang akan dilakukannya tanpa bantuan kami. Tapi aku tak tahu apa." Tatapannya beralih memandang Alana, lalu melanjutkan, "Keesokan harinya aku sempat lewat depan rumahnya. Seluruh pintu dan jendela tertutup rapat tapi sepeda Ainun masih berada di depan rumah. Aku yakin saat itu Ainun ada di dalam rumah, tapi entah sedang melakukan apa.”
Alana seperti mendapat petunjuk. Ada ‘sesuatu’ yang harus ia cari di rumah neneknya!