Tubuh Alana jatuh terjerembap.
Seekor kucing besar hitam menubruknya. Hewan berbulu lebat itu langsung meloncat keluar ruangan dengan lincahnya.
Badar terkekeh sambil menolong Alana yang ketakutan. “Tidak apa-apa. Ayo, bangun.” Tangan keriput itu terulur.
Mendengar tawa Badar, bibir Alana manyun. Tapi tangannya tetap menggapai uluran Badar. Begitu berhasil berdiri kembali, matanya mencari keberadaan hewan yang beda dari kucing kebanyakan karena tubuhnya yang besar, di kolong meja makan. “Kemana larinya kucing itu?”
“Dia sudah lari keluar. Itu kucing nenekmu. Kucing tua yang sangat lincah.”
“Hah?” Alana heran tak percaya.
“Umurnya kurang lebih lima belas tahun. Dia ditemukan Ainun dan dirawat sekitar lima tahun sebelum nenekmu meninggal. Anggap saja tadi dia menyambutmu,” terang Badar sambil melangkah masuk ke ruang selanjutnya.
Alana hanya sanggup termangu mendengar keterangan itu. Ia lanjut mengibaskan bajunya akibat terjatuh tadi dari debu yang menempel dan kembali mengikuti langkah Badar. Begitu masuk ruang berikutnya, matanya terpana. Sebuah dapur! Pemandangan ruang ini kurang lebih sama dengan dapur milik Badar. Yang membedakan, dapur ini lebih luas dan perlengkapannya lebih komplit.
Empat tungku berjajar rapi. Ada dandang, wajan, belanga, cething, tampah yang tertumpuk rapi di atas dipan kayu. Di atas meja besar ada kendi, kastrol penanak nasi, cobek, talenan, parutan kelapa, irus, dan centong. Ada tempayan besar di ujung kiri dapur. Yang paling unik, ada jam besar yang terletak di dinding dapur dekat pintu. Di ujung dapur ada dua kamar mandi besar berjajar.
“Ainun dan Lastri sering menghabiskan waktunya di sini. Mereka memasak bersama. Bahkan para pekerja Birawa yang tergolong orang tidak mampu, selalu disuruh mengambil makanan matang di sini. Selain itu, Ainun selalu membagi hasil sawah dan ladang setiap panen. Hasilnya saat ini, tak ada pekerjanya yang miskin. Semua sudah dipikirkan Birawa dan Ainun. Sampai papan tempat tinggal mereka dipikirkan kakek nenekmu,” kenang Badar. Matanya berkaca-kaca.
Alana bisa merasakan kehilangan yang sangat di hati Badar. “Tentunya kakek yang meneruskan semua kebaikan itu?”
Badar menoleh dan tersenyum mengangguk. “Warisan mereka bukan hanya harta, tapi kebaikan dan ketulusan hati yang mengakar di orang-orang sekitarnya,” lirihnya.
Alana mendekat dan menepuk hangat pundak Badar. Ia mengulangi lagi demi meyakinkan jika sosok yang ada bersamanya adalah seorang yang tulus. “Terima kasih, Kek. Kakeklah penerus kebaikan kakek nenekku.”
Badar tersenyum hangat dan mengusap air mata.