Lembaran Harapan

Yukina Gelia
Chapter #2

1.Kelam Lalu: Kecilnya Karuna


Aku selalu berjalan melewati rindang pohon asam dan kumpulan pohon pisang; entah pulang atau pergi sekolah. Terkadang bersama teman se-Gang atau teman sekelas. Tidak terlalu banyak yang bisa ku ingat: karena kepalaku sudah dirusak. Tapi aku ingat mengapa begitu takut dengan manusia, khususnya pria. Walau mereka sudah berperilaku baik nan lemah lembut pun ... aku tetap tidak bisa mempercayai mereka.

Keluarga ku terbilang menengah ke bawah saat aku masih kecil. Aku ingat waktu itu, tinggal di kampung yang daerahnya terdapat TPU Kristen; jujur tempat itu sangat nikmat untuk dijadikan lapak petak umpet. Bocah perempuan berumur 4 tahun ini; selalu senang ketika menunggu kakak-kakak tetangga menggolok Ceri segar di pepohonan.

Bukan cuma buah Ceri; ada Mangga, Jambu Klutuk, Belimbing Asam, Jambu Air, aduh ... masih banyak lagi lah. Seperti itu memori senang milikku, belum bagian susah hidup yang ku rasa, contohnya dimulai dari kondisi tidak adanya WC di rumah kami— yang berbagi petak dengan pemilik rumah.

Aku akan selalu memberi tahu ibuku kalau aku butuh buang air besar: dia akan mulai mengambil sendok semen dan karung goni, lalu menyerukkan ‘harta’ yang telah aku keluarkan di atas tanah. Yap, di atas tanah. Di depan rumah kami lah, lapak buang air besar ku berada. Kalau orangtua ku? Di pedalaman kebun coklat ada WC jongkok yang biasa dipakai warga, kalau malam tempatnya luar biasa ngeri. Kau bayangkan saja sendiri ....

Rumah kami berbahan bata semen dan atap seng reot yang bahkan tidak memiliki dapur. Pembatas petak rumah kami dengan pemiliknya hanya lemari kayu jati yang lapuk. Ruang tamu dan dua kamar, bagian ambang lorong menuju ruang tengah ke belakang adalah yang ditutup dengan lemari.

Aku selalu bisa mendengar teriakan Nek Ita dari balik sana; entah karena memarahi anaknya, atau menegur kedua orangtua ku untuk berhenti bertengkar. Saat masih kecil aku keheranan dengan apa yang terjadi, kenapa Nek Ita berteriak dan mengapa orangtua ku langsung terdiam setelahnya.

Kondisi pertengkaran antar orangtua ku cukup sering, sampai dititik aku tak bisa membedakan mana yang hanya argumen biasa dan pertengkaran antar mereka. Wajar ... atau tidak yah? Bisa dibilang aku saat kecil adalah anak yang tak pintar membaca situasi. Aku mulai mendapat kedewasaan emosional seperti itu ketika aku remaja.

Aku adalah anak pertama dikeluarga ku, satu-satunya anak perempuan. Ibuku sudah menanti kehadiran buah hati selama kurang lebih 9 tahun lamanya. Tapi aku rasa ... mereka tetap belum pantas punya anak, bahkan satu sekalipun. Aku rasa pantas bagi mereka untuk tidak punya anak dalam waktu yang lama. Kalian pasti berpikir ..., “Durhaka sekali kau begitu!” Lihatlah cerita ku: Siapa yang durhaka menurut mu?

Ibuku mendapat anak keduanya di usia ku yang keempat tahun. Ardi, adikku yang sayangnya memiliki Autisme. Untuk orangtua ku yang baru empat tahun menjadi orangtua, ini sebuah cobaan ekstra. Jujur aku tidak melebih-lebihkan; mental, fisik dan kesabaran benar-benar diuji—itu juga berlaku pada ku.

Terkadang aku berpikir “Apa jadinya hidupku tanpa adanya saudara? Atau jika ... aku tak pernah ada?” Semua pertanyaan itu muncul bukan tanpa sebab. Keluargaku setelah 9 bulan kelahiran Ardi memutuskan untuk pindah ke tempat baru. Aku tak tahu mengapa mereka pindah saat itu; mungkin karena ayah ku sudah tak betah dengan kondisi rumah, atau karena ibuku yang selalu gerah di ceramahi Nek Ita soal adikku.

Semakin aku dewasa, semakin aku menyadari: ibuku sangat lalai menjadi orangtua. Adikku yang pertama; Ardi, dia tidak diberi MPASI sampai umurnya 11 bulan. Sebelum sampai ke titik itu, ibuku menyiksa dirinya non stop dengan menyusui adikku yang tak henti-hentinya lapar, efeknya dada ibuku memerah dan membengkak.

Tak usah membicarakan soal adikku, saat dia mengajari Alphabet dan membaca padaku saja; sudah terlihat tidak becusnya, anak umur tiga tahun yang pelafalan huruf di lidahnya belum fasih, ditoyor-toyor tak henti-henti. Yah walau begitu efek yang aku dapat adalah mahir membaca di umur ke empat tahun.

Aku lahir dari ayah yang prematur dan ibu yang hanya tamatan sekolah dasar. Ayah ku punya masalah temperamental sedangkan ibuku punya trauma dari keluarganya yang berantakan. Jujur ..., Ibuku akan jauh lebih baik jika dia tidak bersama dengan Ayah ku. Ayahku mempengaruhi mental ibuku—lalu ibuku melampiaskannya ke diriku—aku sudah bisa membantah—di lampiaskan ke adik-adik ku dan kucing peliharaan kami.

Sosok ibu yang seharusnya mengajarkan cinta dan kasih itu, malah memberikan gambaran bahwa memiliki anak dan menjadi ibu adalah sebuah kutukan. Aku muak, karena pada akhirnya aku terpengaruh; aku takut untuk menjadi ibu. Aku takut pada pria. Aku benci mengurus anak. Dan yang paling buruk ..., aku benci menjadi wanita.

‘Denging’

“Karuna? Syukurlah sudah bangun. Aku cemas kamu bakal harus di opname lagi ... jangan kebanyakan minum obat itu yah. Efek sampingnya bisa bikin koma.” Anita berbicara dengan wajah khawatir; tangannya sibuk mengompres tubuh ku dengan kain yang dibasahi air hangat.

“Tadi Dospem kamu ada chat, kalau seminggu ini dia nggak bisa ketemu untuk acc skripsi. Jadi jangan memaksakan diri dulu yah.”

“Iya Anita, makasih udah ngerawat Runa .... Mau makan apa?” Aku bergegas mencoba bangkit, hendak melangkahkan kaki untuk memasak makanan tanda balas budi. Namun sebelum benar-benar bangkit; tangan Anita langsung menghadang tubuhku, meletakkan ku kembali ke posisi semula.

“Istirahat saja dulu, tubuh mu masih sempoyongan. Aku sudah beli bubur ayam. Kita makan sama-sama yah?” Anita berkata dengan lembut sembari mengeluarkan dua kotak bubur ayam dari kantong plastik; aroma bubur membuat naluri lapar muncul dalam diriku.

“Anita .... I love you~” Kataku sembari memeluk tubuh Anita dengan manja.

“Aduh. Lebay ih, sini makan dulu,” ujarnya sambil terkekeh.

Malam itu efek samping parah obatku kambuh; jadi untuk seminggu ke depan aku akan fokus kontrol dan konsul. Apa? Kenapa dia begitu baik? Siapa? Oh, Anita .... Dia itu teman sekamar ku selama empat tahun lamanya. Dulu, dia dan aku sebenarnya tak terlalu saling menyukai. Namun setelah sebuah kejadian, kami jadi lengket bet lengket tak terpisahkan, BFF gitu lah.

Lihat selengkapnya