Lembayung di Ujung Mendung

SY. Nala
Chapter #1

1. Hari yang Berbeda

Pagi kembali datang.

Elis membuka jendela kamar, hawa segar terasa menerpa wajah. Di kejauhan sana tampak mentari perlahan mulai memunculkan dirinya di balik perbukitan yang menjulang. Menerpa dedaunan basah di mana embun-embun masih berkumpul. Tampak dingin dan menyegarkan. Sayup-sayup mata memandang, hamparan sawah yang mulai menguning menghiasi setiap pinggir jalan desa.

Pemandangan yang menakjubkan.

Beberapa kali terlihat gadis itu menghela nafas, menghirup udara pagi. Nun jauh di sana, kabut putih masih tampak melingkari kaki bukit, dingin menusuk tulang. Namun semua itu tak menyulutkan semangat para petani untuk mulai turun kesawah.

Panen yang tinggal beberapa minggu lagi mengharuskan mereka untuk lebih sering menjaga sawah agar bulir-bulir padi mereka tidak menjadi santapan burung-burung pemangsa. Beberapa petani bahkan rela berjaga semalaman di saung untuk memastikan padi mereka aman dari serangan hama tikus.

“Liiiis ...,” terdengar suara Ibu memanggil. Dilihatnya jam dinding tenyata telah menunjukkan pukul 06.30. Tiga puluh menit berlalu tanpa terasa sejak dia bangun dan termangu di jendela. Elis segera menghampiri Ibunya karena seperti biasa, Ibu pasti sedang menyiapkan sarapan.

Begitu keluar kamar, bau singkong rebus dan seduhan kopi hitam langsung menyeruak di penciumannya. Dia hafal sekali dengan menu sarapan yang sering dibuat Ibu, sederhana namun tetap terasa nikmat.

Saat berjalan menuju dapur, Elis melihat Ayah sedang meminum kopi hitamnya di meja makan bersama Rathan. Elis hanya menatapnya dari sudut mata. Laki-laki yang entah berasal dari mana tinggal bersama keluarganya hampir dua tahun belakangan. Hampir dua puluh empat bulan berlalu tanpa pernah dia bicara panjang lebar dengannya.

Laki-laki itu sangat sedikit bicara, terlebih dengannya. Hanya beberapa kali saat pertama kali dia datang, saat membantunya menanam mentimun di ladang dan saat memanggilnya untuk makan malam. Hanya sebatas obrolan ringan tanpa menguak apapun tentang jati dirinya.

Elis masih ingat saat pertama kali menemukannya di persimpangan jalan desa dua tahun yang lalu. Saat itu hari menunjukkan pukul 22.00 malam sewaktu dia pulang dari warung membelikan obat buat Ibu. Sebuah mobil melaju tanpa kendali dan tiba-tiba menabrak tiang listrik di salah satu pinggir jalan dengan suara yang sangat keras.

Elis tersentak, dia ketakutan sesaat. Dengan sisa tenaga dia berjalan menuju mobil itu dan mendapati seorang laki-laki sedang duduk di jok sopir dalam keadaan setengah sadar. Dahinya mengeluarkan darah segar.

Elis sangat kebingungan, tidak tahu harus melakukan apa. Mobil itu terlihat remuk di bagian depan dan mengeluarkan asap. Pikiran Elis semakin kacau membayangkan bagaimana kalau mobil itu meledak kapanpun. Tak ada siapapun di mobil itu selain laki-laki itu. Dia berusaha menepuk pipinya berharap laki-laki itu sadar sebentar saja dan keluar dari mobil. Namun usaha Elis sia-sia, kali ini laki-laki itu sepenuhnya pingsan.

Entah mendapat perintah dari mana Elis tiba-tiba berteriak minta tolong, berharap seseorang datang membantunya. Dia begitu takut melihat seseorang terluka di hadapannya atau kondisi paling buruk laki-laki itu meninggal. Akh, Elis segera mengenyahkan pikiran buruk sambil terus menepuk pipi laki-laki itu, berharap dia bangun sebentar saja.

Elis bisa merasakan tangannya bergetar hebat. Satu menit berlalu begitu lama dan tak ada siapapun yang datang. Tanpa pikir panjang lagi, Elis segera berlari menuju rumah dan memanggil Ayahnya, menceritakan apa yang dia lihat. Ayahnya pun tampak sigap dan tak bertanya panjang lebar, beliau langsung keluar rumah menuju persimpangan jalan desa.

“Kau panggil Pak RT, Ayah akan ke sana sendiri dulu,” Ayah memberikan perintah pada Elis. Ibu yang kurang enak badan hanya melihat pemandangan itu tanpa bertanya apapun. Elis meletakkan obat yang dibelinya tadi di atas meja lalu pamit pada Ibu menuju rumah Pak RT. Ibu hanya mengangguk ragu tanpa berniat bertanya, dia akan tahu nanti. Begitulah pikiran bijaknya menanggapi.

Hanya dalam beberapa menit persimpangan jalan desa sudah di penuhi kerumunan warga yang hendak membantu atau bahkan hanya melihat kejadian itu. Laki-laki itu langsung dibawa ke puskesmas terdekat dengan pengobatan seadanya. Beruntung dokter yang kebetulan sedang berada di tempat malam itu mengatakan kalau dia tidak apa-apa. Hanya shock ringan dan tak ada luka yang serius. Elis pun menghela nafas lega. Lega sekali.

Saat itu, mengetahui bahwa laki-laki itu tak punya identitas apapun dan juga tak ada satupun dari warga yang mengenalinya maka tak ada seorangpun yang mau bertanggungjawab atas dirinya. Tiba-tiba entah punya keberanian dari mana Pak Sapto, Ayah Elis memutuskan untuk membawanya kerumah mereka. Sejak hari itulah laki-laki itu tinggal bersama keluarganya di rumah yang sangat sederhana. Selama dua hari dia tak sadarkan diri. Keluarga Pak Sapto pun tak tahu harus menghubungi siapa. Tak ada cara lain selain menunggunya sadar dan bertanya, siapa dia.

Seperti keajaiban. Laki-laki itu akhirnya sadar. Awalnya dia terlihat bingung, mungkin karena memang ini pertama kalinya pertemuan dia dengan keluarga Pak Sapto. Dia hanya mengatakan namanya, Rathan, namun tidak dengan asal usul dan alasan kenapa dia bisa tiba di desa ini. Dia hanya diam saat Pak Sapto bertanya tentang dirinya, menunduk dalam. Melihat semua itu, beliau memutuskan untuk tak bertanya lagi.

Satu hal yang membuat Elis bingung, Rathan tak ingin kembali dan memohon untuk tinggal bersama keluarganya dengan bekerja apapun. Dia berkata sebagai ucapan terima kasihnya atas pertolongan mereka yang telah membantu menyelamatkannya.

Elis yang berada di sudut ruangan menatap laki-laki itu penuh selidik. Ada apa? Siapa Rathan? Kenapa dia bisa tiba di desanya? Tempat yang bahkan sangat jauh dari Kota. Dari penampilannya dia bisa menebak kalau laki-laki itu bukan orang sekitar sini, bukan desa sebelah tapi sebuah tempat yang sangat jauh yang bahkan dia sendiri mungkin belum pernah ke sana.

Elis hanya diam saat Ayahnya akhirnya mengizinkan Rathan tinggal bersama mereka. Ibunya pun tampak tak keberatan. Dia menempati kamar tepat di sebelah kamar Elis. Gadis itu sedikit tidak nyaman.

Satu hal mengejutkan, Rathan bahkan menjual mobilnya dan hasil penjualan itu diberikannya pada mereka. Beberapa kali Pak Sapto menolaknya, tapi Rathan terus saja memaksa. Dia tetap ingin membantu. Dia merasa berhutang budi karena telah menyelamatkan nyawanya. Setelah didesak dengan segala wejangan Rathan yang terlihat sangat tulus, Pak Sapto akhirnya tidak bisa menolak.

Jumlah itu sangat besar mengingat mobil Rathan tak terlalu rusak parah. Uang itu bahkan lebih dari cukup untuk kebutuhan hidup mereka lima tahun kedepan. Mereka bahkan merenovasi rumah dan menambah biaya panen padi tahun lalu. Bagaimana Elis tidak semakin heran dan bertanya-tanya. Siapa Rathan? Mau apa dia tinggal di rumahnya? Kenapa dia tidak kembali ke tempat tinggalnya? Apa tidak ada yang mencarinya?

Pertanyaan yang bahkan tak terjawabkan sampai hari ini.

“Eh, malah melamun. Sini, cuci beras di atas meja itu Lis.” Suara Ibu membuyarkan lamunannya tentang Rathan.

“Lah, pagi-pagi kok malah melamun Nak?” balas Pak Sapto ikut menggoda anak gadis semata wayangnya.

“Ah, iya Bu, maaf Ayah,” Elis segera mengambil beras yang dimaksud ibu dan segera mencucinya, lalu meletakkan di atas tungku kayu sambil beberapa kali meniup apinya agar menyala. Sekilas, Elis menengok ke belakang menatap Rathan, laki-laki itu tersenyum hambar. Sama seperti biasa tak ada nyawa dalam senyumannya.

“Ayah mau dibuatkan makan siang apa nanti?” Elis bertanya sambil duduk di samping Ayah, mengambil satu buah singkong dan memakannya.

“Apa saja, Nak. Kalau kau yang masak Ayah pasti makan. Iya kan Nak Rathan?” Pak Sapto menatap Rathan yang hanya diam sejak tadi.

“Iya Pak,” jawabnya tenang sambil tersenyum.

“Suara itu, akh seperti menyembunyikan sesuatu yang getir ...” batin Elis.

“Ayo Nak, kita berangkat sekarang,” ajak Pak Sapto pada Rathan yang hanya dibalas sebuah anggukan dari laki-laki itu. Elis tak habis pikir kenapa Ayahnya bisa begitu ramah pada makhluk aneh yang bahkan tak punya mimik muka sedikitpun. Beberapa kali beliau selalu mengatakan, “Lis, kita hanya membantu dia, Nak. Sepertinya dia punya masalah yang tak bisa dia ceritakan. Biarkan saja, Ayah yakin dia anak baik. Kita tunggu saja, cepat atau lambat dia pasti mau bercerita kepada kita.”

Elis bahkan sudah bosan mendengarkan kalimat Ayahnya yang selalu sama setiap dia bertanya dan kebingungan tentang Rathan. Kapan dia akan bercerita siapa dirinya, ini bahkan sudah dua tahun tapi dia tak tahu sama sekali tentang laki-laki itu selain pendiam dan dingin.

Elis masih ingat saat pertama kali Ayah mengajaknya ke sawah, dia bahkan tak bisa memegang cangkul sama sekali. Tapi hari ini dia bahkan sudah bisa membajak sawah, memanen padi dan bertanam aneka sayuran di ladang. Disisi lain Elis sebenarnya bersyukur, sejak kedatangan Rathan, Ayahnya sudah tak terlalu repot mengurus sawah dan ladang. Laki-laki itu membantu banyak.

Ditambah lagi hampir semua penduduk desa menyukainya, dua tahun berlalu dan hampir setiap hari berbaur bersamanya sepertinya membuat mereka lupa bahwa Rathan adalah orang asing. Elis bahkan sering melihatnya berbicara dengan ramah bahkan tertawa dengan beberapa bapak-bapak yang ikut bekerja di sawah tapi kenapa tidak dengannya.

Elis yang tiap hari bertemu dia, makan satu meja tak pernah menemukan bahan pembicaraan yang membuat Rathan tertawa. Dia hanya tersenyum dan itupun hambar. Sikapnya seperti membuat jarak yang luas diantara mereka. Elis seperti kehilangan kesempatan untuk menuntaskan penasarannya untuk tahu siapa Rathan.

Pernah sekali dia mengatakan pada Ayah kemungkinan paling buruk. Mungkin saja Rathan seorang buronan yang lari dari kejaran polisi lalu bersembunyi di desanya. Mendengar itu Ayahnya malah tertawa terbahak-bahak. Seakan ucapan Elis sebuah guyonan yang sangat lucu.

“Lis, Ayah yakin Rathan itu anak baik dan tidak punya niat buruk apapun tinggal bersama kita. Ayah sangat yakin.” Hanya itu kata-kata Ayahnya setiap kali Elis mengatakan hal-hal buruk yang seringkali terlintas di benaknya. Elis tak punya pilihan lain selain diam kalau Ayah sudah bicara seperti itu, karena memang Ayah selalu punya insting yang baik dalam menilai orang dan kali ini pun semoga Ayah benar.

Sejak itulah Elis berusaha menerima Rathan. Bukan saudara ataupun teman tapi hanya seseorang yang sedang butuh bantuan. Dia pun tak pernah lagi mempertanyakan tentang laki-laki itu pada Ayahnya. Biarkan saja, suatu saat semuanya akan jelas dan terang. Entah kapan tapi dia yakin, ada satu hal yang sangat mengganjal di hati laki-laki itu. Sejak Ayah begitu yakin kalau Rathan orang yang baik, Elis mulai berhenti mencurigainya.

“Tuh kan, melamun lagi. Mikiran apa sih Lis?” Kali ini Ibu menepuk bahu Elis, lamunannya buyar sekali lagi.

“Tidak apa-apa kok Bu.” Elis buru-buru mengaduk nasi di atas tungku kayu yang hampir matang. Api dari kayu pun terlihat mulai mati, hanya menyisakan bara untuk mengeringkan air nasi.

“Untung tidak hangus,” bisiknya menghembuskan nafas lega sambil mengeluarkan beberapa kayu yang masih menyala.

***

Siang ini matahari bersinar sangat terik. Elis hampir tidak bisa membuka mata begitu keluar dari rumah karena sinarnya yang begitu menyilaukan. Langit biru membentang sejauh mata memandang, tak ada awan sedikitpun yang bisa meredakan panasnya. Namun dia harus ke sawah mengantarkan bekal makan siang untuk Ayah. Tak peduli sepanas apapun matahari menyengat ubun-ubun.

Lihat selengkapnya