Lembayung di Ujung Mendung

SY. Nala
Chapter #2

2. Dua Hari Mengubah Segalanya

Pagi datang lagi, tak ada yang berbeda. Matahari masih muncul di balik perbukitan. Sama seperti pagi kemarin, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu bahkan sebelum Rathan datang pun, pagi selalu sama. Awal yang baru dengan segala harapan yang baru. Menenangkan. Membahagiakan.

Namun pagi ini hanya suasana hati Elis yang tak seperti biasanya. Beberapa kali dia mengulum senyum menatap langit-langit kamar. Burung-burung di luar terdengar berkicau riang seakan mendendangkan irama syahdu yang menentramkan hati. Tidak, lebih tepatnya mendebarkan hati. Elis sungguh merasa pagi ini terasa sedikit berbeda. Untuk pertama kalinya dia senang saat Rathan berkata akan tinggal bersamanya dalam waktu yang lama atau mungkin selamanya.

Gadis itu memeluk bantal, mengulum senyum sekali lagi. Menatap ke luar jendela. Sinar mentari yang masuk melalui rongga persegi panjang itu terasa lebih indah dari pagi biasanya. Entah apa yang terjadi, yang jelas Elis tiba-tiba tak ingin Rathan pergi. Sejak kemarin pandangannya terhadap laki-laki itu sepenuhnya berubah.

Dia bukan lagi orang asing. Ada apa? Jatuh cintakah dia?

Akh, Elis buru-buru menyingkap selimut. Menepuk-nepuk pipinya berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran aneh yang entah datang dari mana. Jatuh cinta? Huf dia sama sekali tak tahu perasaan apa itu. Samar-samar didengarnya suara berisik dari luar. Elis melihat ke luar jendela, seketika jantungnya berdegup.

“Baru bangun?” Rathan menyapanya dari luar, laki-laki itu sedang memberi makan ayam sambil menatap Elis yang tiba-tiba muncul dari balik jendela. Dia tersenyum. Tak lagi hambar. Ada binar kehidupan dari tatapan matanya sejak kemarin. Entah hal apa yang tiba-tiba membuat Rathan berubah dan mulai banyak bicara dengannya. Apapun itu satu hal yang dia tahu, dia menyukainya.

Bagai di sihir sejenak. Elis mengangguk bodoh. “Ayah mana?” Elis mengumpulkan semua tenaga untuk mengatakan dua kata itu.

“Sudah berangkat ke sawah,” jawab Rathan sambil terus memberi makan ayam. Matanya tak beralih dari makhluk-makhluk mungil berbulu itu.

“Kau tak ikut?” Elis akhirnya menemukan ketenangan untuk bertanya lebih lanjut.

“Iya, nanti siang. Mungkin bersamamu saja sambil membawa makan siang,” jawab Rathan, menatap Elis. Tersenyum sekali lagi.

Elis sepenuhnya ternganga. Ini sungguh di luar dugaan, dia akan berjalan bersama Rathan saat ke sawah nanti siang. Satu sisi hatinya bersorak riang, entah kenapa. Sejak kemarin, bersama Rathan rasanya menjadi saat yang membahagiakan. Senyuman Rathan kemarin benar-benar telah mengubah banyak hal terutama apa yang dipikirkannya tentang laki-laki itu dua tahun belakangan.

“Hei, kau melamum?”

Elis tersentak kaget, Rathan berdiri tepat di depannya, mengibaskan tangan.

“Eh, tidak!” Elis kikuk, menyelipkan rambut ke daun telinga sambil tersenyum. Menghilangkan gugup.

“Kau memikirkan Danu lagi?” Rathan berusaha menggoda Elis. Ikut mengulum senyum.

“Bukanlah,” jawab Elis cepat, setelah itu dia menggigit bibirnya, mengutuk diri sendiri kenapa dia harus seantusias itu menjawab pertanyaan Rathan.

Rathan hanya tersenyum melihat sikap Elis. “Dia sepertinya baik, kau cocok dengannya.”

Rathan lalu beranjak pergi, membawa wadah makanan ayam lalu berlalu ke belakang meninggalkan Elis yang terlihat cemberut dengan perkataannya barusan.

“Cocok dari mana?” bisiknya mendengus sebal.

***

“Bu, menurut Ibu, Mas Danu itu orangnya gimana?” Elis bertanya pada Ibunya disela menyiapkan bekal untuk Ayah.

“Lho, tumben sekali kau bertanya begitu. Kenapa?” Ibu menatap Elis penuh selidik.

“Tidak apa-apa Bu, cuma bertanya saja. Kalau Ibu tak mau jawab ya sudahlah,” Elis pura-pura sewot.

“Hm, begitu saja sudah marah. Danu baik, Ibu suka. Kau suka dia?”

Elis mendengus malas. “Kalau Rathan, Ibu suka?” Elis terlihat gugup saat menyebutkan nama Rathan. Dia tersenyum malu.

“Lho, sekarang malah bertanya Rathan, ada apa?”

“Jawab sajalah Bu,” ujar Elis setengah merengek.

“Rathan juga baik, anaknya rajin dan sopan. Ibu juga suka.”

“Kalau disuruh milih, Ibu akan memilih siapa? Mas Danu atau Rathan?”

Seketika Ibu menghentikan aktivitasnya mengemas rantang, menatap Elis dengan sudut mata. “Kau kenapa Lis? Pertanyaannya kok aneh begitu? Masa Ibu disuruh milih Danu atau Rathan? Ada-ada saja.” Ibu menggelengkan kepalanya, tak menjawab pertanyaan Elis.

Gadis itu memajukan bibirnya cemberut.

“Sudah, berangkat sana. Nanti Ayahmu kelaparan menunggu. Ayo!” Ibu meletakkan rantang ke pangkuan Elis lalu berlalu, gadis itu semakin cemberut karena Ibu hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaannya.

Elis melangkahkan kaki ke luar rumah, mentari terlihat tak terlalu menyengat. Angin yang bertiup semilir membuat panasnya tak begitu terasa.

“Lama sekali mengemasi rantangnya.”

Elis terperanjat begitu melihat Rathan duduk di beranda rumah.

“Akh, sejak kapan kau di situ?” Elis tak bisa menyembunyikan kekagetannya.

“Sejak tadi,” jawab laki-laki itu singkat.

Elis masih terperangah.

“Mau sampai kapan berdiri di sana, ayo!”

Elis tersadar dari keterkejutannya, menghela nafas lalu berjalan mengikuti Rathan. Elis masih tak percaya dengan situasi ini. Sejak kapan Rathan menemaninya ke sawah. Semua ini sungguh di luar dugaan, setelah dua tahun berlalu baru kali ini dia bisa sedekat ini dengan laki-laki itu. Anehnya semua terasa mendebarkan.

“Jadi siapa yang lebih disukai Ibu? Aku atau Mas Danumu?”

Langkah Elis terhenti. Dia sempurna terperanjat. Rathan yang berjalan selangkah di depannya pun ikut terhenti.

“Kau menguping perbicaraanku dengan Ibu?” Elis terlihat kikuk.

“Aku tidak perlu menguping Lis untuk obrolan sekeras itu.” Rathan menatap gadis itu sambil tersenyum.

Elis membuang muka, dia berjalan mendahului Rathan. Jengkel. Mungkin lebih tepatnya menyembunyikan mukanya yang memerah karena menahan malu. Kenapa juga dia bertanya hal konyol itu pada Ibu, terlebih lagi kenapa juga tak lihat situasi kalau Rathan sedang berada di rumah. Elis memaki diri sendiri.

“Kok diam? Jawab dong. Siapa yang lebih disukai Ibumu?” Rathan kembali bertanya lagi, berlari kecil mensejajari langkah gadis itu.

Tak menjawab Elis hanya memalingkan muka menahan malu. Takut Rathan melihat pipinya yang memerah.

Laki-laki itu hanya tertawa ringan. Tak bertanya lagi.

Elis masih menggerutu, memaki diri sendiri dengan umpatan-umpatannya yang tak jelas.

“Maaf ya,” ujar Rathan setelah terdiam cukup lama.

Elis menatapnya heran. “Buat apa?” tanya Elis, seakan lupa dengan hal memalukan barusan.

“Buat sikapku yang mungkin tak menyenangkan selama dua tahun ini.”

Sejenak Elis terdiam. Hening, hanya terdengar desau angin. Beribu pertanyaan seputar Rathan seketika muncul kembali di benaknya.

“Memangnya apa yang terjadi?” Elis memberanikan diri bertanya, walau jujur dia juga tak berharap Rathan akan menjawabnya. Dia sadar, belum saatnya baginya untuk tahu banyak tentang laki-laki itu.

Hening, sekali lagi. Langkah-langkah kaki mereka terdengar lebih jelas menerpa jalanan berbatu tepi persawahan. Elis diam, tak berniat bertanya lagi. Mungkin terlalu lancang bertanya hal ini karena baru kemarin Rathan tersenyum padanya. Seketika dia menyesali pertanyaannya.

“Sudahlah, tidak usah dijawab.” Elis memecah keheningan. Berusaha tersenyum.

“Aku sedang memulihkan hati ...,” jawab Rathan pelan hampir tak terdengar.

Elis terpana sesaat, jawaban itu jelas terdengar olehnya. Sungguh dia ingin bertanya lagi tapi urung. Dia tak ingin membuat suasana semakin canggung.

Rathan menatapnya sambil tersenyum. Senyuman yang dipaksakan. Sangat jelas getir itu kembali terlihat di binar matanya.

Sementara Elis menatapnya dengan sejuta pertanyaan yang tak terjawabkan. Langkahnya terhenti seketika, jawaban Rathan mengusik hatinya sesaat.

“Hei, ayo!” Rathan memanggilnya karena melihat gadis itu menghentikan langkah dan bingung sendiri.

“Ah, ya.” Elis tersadar, dia segera berjalan cepat mensejajari langkah Rathan.

“Jadi bagaimana dengan Mas Danumu itu?”

Lihat selengkapnya