Lembayung di Ujung Mendung

SY. Nala
Chapter #3

3. Perasaan Itu... Cinta

“Ada Mas Danumu di luar.” Elis tersentak saat keluar kamar, Rathan sudah berada tepat di depannya. Membawa berita yang membuat suasana hatinya terasa buruk. Dia benar-benar tak ingin lagi berdebat dengan Mas Danu apalagi perihal kemarin sore.

Dengan muka yang belum disapu air, Elis memutuskan untuk menemui laki-laki itu di beranda. Tampak dia sedang duduk di kursi dengan seragam coklat mudanya. Sepertinya dia hendak berangkat ke kantor.

“Ada apa Mas?” Elis langsung bertanya begitu sampai di depan pintu.

“Kau baru bangun Lis?” Danu terlihat basa-basi dengan intonasi suara yang sengaja dilembutkan.

“Sudah dari tadi Mas,” jawab Elis. Dia lalu ikut duduk di kursi. Rasanya tidak sopan jika hanya berdiri di dekat Mas Danu, begitu pikirnya.

Hening sejenak diantara mereka. Danu terlihat memilah kata untuk diucapkannya, takut Elis tersinggung seperti kejadian kemarin sore.

“Mas tidak kerja?” Elis memecah keheningan. Dia berusaha tak terlalu memedulikan tentang perdebatan mereka kemarin.

“Iya. Mas mampir dulu mau bertemu kau Lis. Ada yang ingin Mas sampaikan.”

“Apa itu?”

“Tentang kemarin. Mas minta maaf ya. Sungguh, Mas tidak bermaksud sama sekali untuk menyinggung hatimu.”

“Sudahlah Mas, aku sudah lupakan kok. Aku mengerti, Mas pasti tidak bermaksud seperti itu,” Elis tersenyum, berusaha melupakan kejadian kemarin sore. Hal sepele itu rasanya tak perlu merusak pertemanan diantara mereka.

“Kau tak marah Lis?” Mata Danu terlihat berbinar.

Elis mengangguk mantap. Tersenyum tulus. Sungguh dia tak lagi mempermasalahkan perkataan Mas Danu kemarin. Meskipun memang dia agak jengkel tapi tidak perlu di simpan terlalu lama. Dia tahu Mas Danu seperti apa, dia tak pernah berkata seenaknya tentang orang lain. Dan perkataannya kemarin sore mungkin ada alasan yang kuat. Apalagi kalau bukan takut kehilangan dirinya seperti yang sering dikatakannya selama ini.

“Mas janji tidak akan mengulanginya lagi. Sungguh Lis, Mas tak tenang dan merasa bersalah sekali. Mas hanya tak ingin ...,

“Kehilangan aku?” potong Elis cepat.

Danu tercekat, perkataannya menggantung di udara.

“Mas, aku tuh tidak ke mana-mana. Masih di sini kok, rumahku juga belum pindah kan? Dan apanya yang hilang sih, Mas? Kita masih seperti dulu kan? Mas masih sahabatku yang baik, kakakku yang penyayang. Iya kan?”

Danu terdiam. Bukan kehilangan ini yang dia maksud. Apa Elis tak juga mengerti? Harus berapa kalikah dia mengulang pengakuan yang sama bahwa dia memiliki perasaan yang lebih pada gadis itu. Dia mencintainya. Kenapa Elis tak pernah mengerti atau memang tak ingin mengerti?

“Lis, maksud Mas ...,”

“Udah hampir jam 08.00 lho Mas, nanti Mas terlambat ke kantor,” potong Elis cepat seperti sudah tahu apa yang hendak dikatakan Danu dan dia tak ingin mendengarnya. Pembahasan tentang perasaan selalu saja membuatnya kehilangan kata-kata. Lebih baik tak usah membahasnya sama sekali.

“Oh ya sudah, Mas berangkat dulu ya.” Danu mengalah. Dia tak ingin memperburuk keadaan dengan membahas hal lain. Elis tak mempermasalahkan kejadian kemarin sore saja, sudah cukup membuatnya senang.

Elis mengangguk sambil tersenyum manis. Melambaikan tangan saat Danu akan melajukan motornya. Laki-laki itu hanya tersenyum hambar. Menatap Elis sejenak, lalu sempurna berlalu. Ada sesuatu yang tetap saja mengganjal hatinya. Dia tahu Elis telah memaafkannya dan tak lagi mempermasalahkan kejadian kemarin sore.

Tapi senyuman itu.

Elis terlihat sangat bahagia pagi ini. Memang dia bukan gadis yang pemurung tapi pancaran wajahnya menyiratkan hal lain. Ada yang berbicara di rona matanya. Perasaan yang ganjil. Danu yakin, sesuatu telah terjadi semalam. Dan mungkin yang tidak dia inginkan.

***

“Lah, Danunya mana?” Ibu datang ke beranda sambil membawa secangkir teh panas.

“Sudah pergi,” balas Elis lalu tersenyum.

“Lho, kan Ibu sudah buatkan minum.”

“Mas Danu kan mau kerja Bu, tidak mungkinlah dia lama-lama di sini.”

“Memangnya dia ada perlu apa ke sini pagi-pagi. Tidak biasanya.” Ibu terlihat sedikit heran, terlebih dengan sikap Elis yang tersenyum-senyum sejak tadi sambil bersenandung riang.

“Cuma mampir. Sini Bu, tehnya buat Lis saja,” Elis langsung mengambil teh itu dari tangan Ibunya dan langsung meminumnya. “Auh, ini panas Bu,“ Elis menjulurkan lidahnya karena kepanasan.

“Hm, memangnya ada orang buat teh pakai air dingin?” Ibunya pura-pura kesal melihat tingkah Elis yang sembrono.

“Ibuuuu,“ Elis mendengus sebal. Sementara sang Ibu sudah berlalu meninggalkannya yang masih duduk di beranda. Ditatapnya matahari yang sudah sepenggalan naik, pagi telah kembali lagi. Seperti dua hari sebelumnya dengan keindahan yang tak biasa. Mendebarkan.

Perlahan tapi pasti kejadian semalam kembali terbayang oleh Elis. Di tempat duduknya sekarang Rathan menyuapinya. Elis mengulum senyum, memegang kedua pipinya yang merona. Rathan? Ke mana dia? Elis tiba-tiba teringat laki-laki itu yang sejak memberitahukan kalau Mas Danu datang dia sama sekali tak terlihat lagi.

“Rathan mana Bu?” tanya Elis berteriak yang membuat suaranya bisa saja didengar oleh tetangga sebelah.

Tak ada jawaban.

Elis kembali memanggil Ibunya. “Buuu ... Ibu ...”

“Ada apa?”

Elis sempurna terperanjat. Dia menelan ludah melihat Rathan sudah berdiri di sampingnya. Entah dari mana dia datang, tidak ada tanda-tanda sedikitpun. Dengan polosnya Elis langsung melihat ke bawah.

“Kenapa?” Rathan terlihat bingung.

Memastikan kalau kaki kau masih menyentuh tanah,” ujar Elis membuat Rathan tergelak. Entah mendapat keberanian dari mana, dia sudah berada di titik nyaman berbicara dengan laki-laki itu. Dia sudah sedikit bisa mengendalikan perasaannya yang tak menentu semalam. Debar yang membuatnya tak tidur, sedikit banyak telah dia tenangkan dengan berusaha bersikap sebiasa mungkin. Apa adanya. Perasaan itu, ah biar saja. Mungkin hanya debar sesaat.

“Mas Danumu sudah pergi?”

“Sudah,” jawab Elis singkat sambil meminum tehnya yang sudah lumayan dingin.

“Kau tahu kalau dia menyukaimu?” tanya Rathan hampir saja membuat Elis tersedak.

Hening membungkus keduanya. Tentu saja Elis tahu itu, Mas Danu juga telah mengatakannya berkali-kali. “Aku juga menyukainya,” jawab Elis kemudian.

“Oh ya?”

“Iya. Dia baik, perhatian dari dulu pun aku menyukainya. Dia sahabat dan kakak yang baik,” lanjut Elis menjelaskan.

Rathan tersenyum menatap gadis itu. “Dia mencintaimu Lis,” tutur Rathan lalu menatap jauh ke depan. Hamparan sawah yang menguning bergoyang diterpa angin pagi yang menyejukkan.

Sekali lagi Elis hanya bisa diam karena kali ini dia tak menemukan kalimat untuk membalas perkataan Rathan.

“Dia mencintaimu. Aku bisa lihat itu dengan jelas bahkan sejak pertama kali datang. Kau tak mencintainya?” Kali ini Rathan menatap Elis tepat di kedua bola matanya.

Gadis itu tersentak sesaat. Degup jantungnya kembali tak beraturan. Tatapan itu masih saja membuat perasaan aneh. “Entahlah,” jawab Elis menunduk, dia meraih gelas teh dan meminumnya. Menghembuskan nafas perlahan kembali menata hatinya yang bergemuruh.

“Aku tidak tahu cinta itu apa?” Elis berkata setelah beberapa menit terdiam menunggu hatinya tenang kembali. Dia tak tahu entah sejak kapan dia mulai berbicara sedekat ini dengan Rathan. Tentang perasaan pula, hal yang sungguh tak pernah dia pikirkan selama ini.

“Akan lebih baik seperti itu,” gumam Rathan seolah menyiratkan sesuatu yang getir di balik perkataannya.

“Maksudmu?”

“Cinta itu menyusahkan Lis. Akan lebih baik kau tak usah jatuh cinta. Bersamalah dengan orang yang mencintaimu. Itu cukup.”

Sejenak gadis itu tertegun. Tak mengerti arah ucapan Rathan.

“Apakah pernah ada seseorang yang membuat hatimu berdebar?” tanya Rathan tiba-tiba. Pandangannya lurus ke depan.

Hening. Tak ada jawaban apapun dari gadis itu. Hatinya mendadak tak menentu. Seketika pertanyaan Rathan sempurna membuatnya terperangah. Pertanyaan itu sempurna menjawab seluruh tanda tanya dihatinya. Apakah sungguh dia telah jatuh cinta dengan laki-laki yang dihadapannya sekarang? Debar ini masih saja menganggu.

“Kau sendiri. Apa pernah mencintai seseorang?” Elis menjawab Rathan dengan pertanyaan lain.

Lihat selengkapnya