Balikpapan, Juni 2019
Kerumunan calon siswa-siswi SMK Martadinatha bersorakan lantaran cuaca yang tidak mendukung. Matahari mengeluarkan sinarnya dengan cahaya kuning dan panas yang membakar kulit.
Teriakan gelisah dan keluhan satu-persatu murid menimbulkan kegaduhan. Ada yang bermasalah dengan kulitnya, skincare yang sia-sia serta perawatan tubuh yang katanya luntur.
“Kak cepat dong mana paradenya?!”
“Iya nih, sudah panas banget.”
“Sia-sia perawatanku kemarin.”
“Cepetin dong, Kak!”
“KALIAN BISA DIAM, NGGAK?” Bentakan keras dari MC menggunakan mikrofon membuat semua murid mendadak senyap, keheningan serta ketakutan terpancar dari wajah mereka, tetapi tidak semua. “Bukan hanya kalian yang panas, yang tampil parade dan OSIS juga panas.”
Hari ini, tepatnya siang yang panas ini menjadi puncak dimana setiap ekskul menampilkan event terbaik selama satu tahun belakang dengan menunjukkan masing-masing penampilan sesuai bidangnya.
Parade ekskul ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali dan diambil pada hari Rabu yang menjadi hari terakhir MPLS. Parade ekskul dilaksanakan layaknya presentasi untuk menarik perhatian murid baru agar memilih ekstrakurikuler yang mereka minati.
Tentu saja parade ekskul ini harus tampil sebaik mungkin sehingga menimbulkan kesan menakjubkan. Bahkan sebagian ekskul membawa satu meja penuh piala kejuaraan untuk menarik perhatian murid baru.
Benar-benar totalitas.
Jingga berdiri paling depan dengan baju berbeda dari semua teman di belakangnya. Napasnya menderu, jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya seolah usai lari maraton. Sungguh, ini sebenarnya bukan pengalaman pertama. Tapi jiwa menggetarkan untuk berusaha menampilkan yang terbaik itu masih ada.
Jingga menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan untuk mengurangi perasaan takut, gelisah, dan cemas.
Sebentar lagi.
Jingga menatap cukup lama ke barisannya, memastikan semua anggota lengkap. Tetapi Jingga merasa hal janggal, akhirnya ia memutuskan untuk menghitung anggotanya. Matanya membelalak saat anggotanya hanya delapan. Matanya memerah dan menatap satu persatu temannya tanpa ada yang terlewat.
“Siapa yang nggak ada di barisan?” tanya Jingga penuh interogasi hingga membuat anggota barisannya menunduk. “JAWAB!” bentaknya sangat keras.
“Siap, saya tidak tahu.”
Jawaban dari satu anggota yang berada di barisan paling belakang itu sontak membuat jantung Jingga berdegup kencang.
“Kalian tahu? Usai penampilan ekskul Accounting Club, setelah itu kita?” tanya Jingga penuh penekanan sembari berjalan memberikan tatapan kecewa.
“Siap, tahu!”
“Kita yang buat variasi sendiri dan kita sendiri yang mau hancurin, iya?” Jingga menyapukan pandangan.
“Siap, tidak!”
“Maaf, Ji, aku telat.” Suara lembut seseorang yang baru datang membuat Jingga menatapnya tajam.
“Sekarang kita tampilkan penampilan dari ekskul paskas!” suara MC itu mengalihkan perhatian Jingva. “Tepuk tangannya, dong!”
Mendengar riuh tepuk tangan penuh antusias dari murid mengurungkan niat Jingga untuk memarahi satu anggotanya yang telat. Ia sedikit berlari menempati posisi paling depan.
Jingga memberikan aba-aba kepada barisannya untuk mengikutinya memasuki tepi lapangan besar, lalu membentuk tiga banjar dan tiga shaf. Setelah teriakan menggelegar dari Jingga, semua anggota barisannya memasuki lapangan dengan senyum manis mereka. Sedangkan Jingga diam dan menampilkan ekspresi judes.
Senyum dalam sebuah penampilan paskas menjadi nilai plus tersendiri bagi mereka yang menandakan anggota itu tidak gerogi. Tetapi siapa sangka, takut dan gerogi itu pasti ada, tetapi senyum menjadi penutup bahwa semua baik-baik saja. Dan untuk komandan pasukan atau danpas seperti Jingga tidak diwajibkan untuk tersenyum.
Semua pasang mata menatap kedatangan paskas bahkan terdengar riuh tepuk tangan memenuhi lapangan. Jingga hanya menatap datar dan dingin, enggan membalas tatapan penuh kagum itu.
Sekilas Jingga dapat melihat semua murid tertegun. Jingga masih berteriak memberikan arahan untuk mengikuti arahannya.
“LANGKAH TEGAP MAJU, JALAN!”
Jingga berjalan memutari anggotanya seolah tengah memeriksa siapa saja yang salah. Padahal, sebenarnya itu adalah bagian dari variasi saja.
“Hadap kiri henti, grak!”
Semua berhenti dan hening. Jingga menggeser tubuhnya ke kanan dua langkah kemudian maju dan berdiri di samping Salwa, sebagai penjuru kanan.
“Empat langkah ke belakang, jalan!”
“Luruskan!”
“Lurus!”
Langkah Jingga kemudian maju memimpin pasukan, memberikan interupsi LKBB.
“Istirahat di tempat, grak!”
“Periksa kerapian, mulai!”
Dalam kekesalan yang masih menggerogot di hati Jingga lantaran salah satu anggotanya telat. Di balik itu ada senyum tak tergambarkan di wajahnya melihat semua barisannya mengikuti interupsi LKBB dengan kompak dan benar.
“Variasi di tempat, mulai!” teriak Jingga lantang.
“Salam dari kami Baratha putra putri Indonesia,” jawab semua pasukan dengan suara patah-patah diiringi tepukan serta lontacan yang kompak. “
“We are comeback!”
“Satria hitam Balikpapan.” Gerakan tangan dan kaki mendominasi mereka yang berseling serta kompak.
Jingga merasa puas dengan variasi formasi hasil karya sendiri tanpa bantuan kakak kelas atau pun pelatih.
“NKRI HARGA MATI!” Detik itu, kembali riuh tepuk tangan tertuju kepada ekskul paskas. Sekujur tubuhnya meremang saat teriakan namanya terdengar jelas di indera pendengarannya.