“WOY!” Cowok Jurusan Multimedia itu berteriak menggelegar, menimbulkan kericuhan seisi kantin.
“Husen! Ribut itu nah!” bentak Salwa dengan gaya khas Balikpapan. “Kalau kamu mau ribut pergi sana, jangan di sini!” usirnya.
“Jutek banget.”
Husen duduk di samping Jingga dan menyeruput minuman milik Abip. Jingga yang berada di samping Husen mendengus kesal melihat respon Abip tampak santai. Sebenarnya Husen tajir, hanya saja dia tidak bermodal untuk sekadar beli minuman.
“Awas kamu nyomot cemilanku.” Jingga memperingatinya dengan nada tegas.
Husen tidak menggubris ucapan Jingga dan kini dia mengambil pisang goreng lalu mencuilnya setengah. “Laper, Ji.”
“Duit kamu banyak mending beli gorengan sendiri apa susahnya, sih?!” Jingga meneriakkan protes. “Nggak modal.”
Jika Husen penyomot makanan dan minuman. Abip adalah gamer yang mudah memberikan makanan dan minuman. Mereka berdua sangatlah cocok dan terjuluki simbiosis komensalisme, tidak merasa dirugikan dan mendapat keuntungan. Sedangkan Rayan cowok anteng dan kalem, lebih memilih diam.
“AH!” pekik Abip. “Knock lagi. Weh bantuin gua knock, woy!”
“Ribut, Bip!” cerca Husen.
“Ngaca,” ketus Zara.
“Astaghfirullah! Begini dah kalau mainnya sama bocil, mulutnya berkoar tapi—“
“Husen, jaga mulut, jangan ngumpat orang,” ucap Jingga penuh peringatan.
“Iya sayang.”
“Fix, kamu fakboi,” celetuk Rayan. “Jaga hati.”
“Iri bilang bos, cemburu kah kamu?” tuding Abip.
“Jinggaaaaa.” Panggilan panjang dari Orlin membuat Jingga menoleh. “Lihat jawaban jurnal.”
“Orlin ganggu,” celetuk Abip.
“Aku mau cabut ke kelas.” Zara beranjak dari bangkunya dengan helaan napas panjang.
“Ra, di kelas nggak ada guru," duga Jingga.
“Biarin,” jawabnya singkat kemudian berlalu.
“Zara kenapa?” Orlin mengernyitkan alisnya. “Kalau ada aku dia malah menjauh.”
“Mungkin lagi ada masalah dia,” jawab Husen. Dia mencomot sanggar milik Abip yang tersisa setengah. “Makasih, Bip. Kamu emang sahabat terbaik yang pernah aku punya.”
“Ya.”
“Jingga, lihat jurnal, aku nggak ngerti materi jurnal,” raung Orlin.
“Guru rapat. Santai aja kali nggak usah bahas pelajaran,” ucap Abip santai tanpa mengalihkan perhatiannya pada layar ponsel.
"Bip, zaman dulu hanya orang-orang kaya yang memperbolehkan mengenyam pendidikan. Pendidikan saat itu jauh dari kata merata. Orang-orang pribumi yang tergolong ekonomi rendah tidak diizinkan bersekolah. Oleh karena itu, Ki Hajar Dewantara berinisiatif membuat lembaga pendidikan Taman Siswa untuk merangkul orang-orang yang tidak dapat mengenyam bangku pendidikan. Lihat juga di daerah terpencil mereka harus melewati arusnya sungai dan jalanan becek hanya untuk bersekolah.
"Kita di kota harusnya bersyukur. Kalau pola pikirmu kayak gitu, Indonesia susah maju, Bip,” tutur Rayan panjang lebar. “Kita sebagai rakyat +62 harus ikut serta membangun bangsa Indonesia. Kita perlu belajar dari sekarang tanpa menunggu guru ada. Sebagai generasi muda yang menjadi penerus bangsa, kita harus kreatif dan inovatif. Saatnya tugas kita membuka peluang kerja untuk membantu pengangguran di Indonesia."
Seisi kantin bertepuk tangan mendengar penuturan Rayan. Cowok yang biasa diam itu akhirnya angkat berbicara, seolah pidato. Sementara Jingga tidak bisa menyembunyikan senyumnya, ia benar-benar kagum.
Bagi Rayan, sanjungan adalah hal lumrah yang tak perlu terkesan.
“Panutanku emang kamu, Ray,” ujar Husen terkagum-kagum. “Pantas aja banyak yang suka sama kamu. Bangga pokoknya aku sama kamu.”
“Mau makan apa, Sen?” tanya Rayan, tidak ingin memperpanjang lagi.
“Tau aja kamu.” Husen menyengir, menampilkan gigi-gigi rapinya. “Bakso satu, Ray.”
“Husen emang ngeselin orangnya,” geram Orlin.
“Iri bilang bos!”
“Jingga, lihat jurnalmu. Aku jam dua mau ke Talang.”
Talang, merupakan Taman Cemerlang yang sengaja di singkat agar penyebutan tidak begitu panjang.
“Ya ampun!” Abip menjauhkan ponselnya ke meja. “Orlin ribut, aku kalah, nggak jadi booyah ‘kan gara-gara kamu.”
“Itu salah kamu sendiri mainnya nggak pro.” Orlin tidak mau kalah.
“Kalian berdua kalau ketemu bisa akur nggak, sih?” tanya Salwa.