Sebuah lambaian tangan dari kejauhan membuat Jingga mengernyit. Tangannya lemas seketika hingga lengkungan halus di bibir yang dapat ia berikan padanya. Siapa dia?
“Nama instagram dia @Detiksenja.”
Jingga memandang Orlin penuh intimidasi. “Tahu dari mana kamu?”
“Dia itu fotografer di sini. Aku cuman tahu nama instagram untuk upload foto-fotonya. Tapi kalau nama aslinya aku belum tahu sampai sekarang.”
“Katanya stalker hebat, masa gitu aja nggak ketemu.”
Orlin menabok lengan Jingga sedikit keras. “Itu 'kan bukan doiku jadi ngapain stalk capek-capek. Nggak penting tahu.”
“Mau dia doimu atau bukan, stalk orang yang belum tentu jodoh sendiri juga nggak penting.” Jingga balik menjawabnya, membuat Orlin bungkam.
“Banyak jawab deh kamu.” Nadanya mulai sebal, membuat Jingga terkikik. “Kamu beneran nggak bisa naik sepeda atau motor, Ji?”
Dengan polos Jingga menggeleng. “Aku setiap hari diantar Ayah dan dijemput angkot. Kamu ‘kan tahu sendiri.”
Orlin jalan mendahului Jingga. “Masa naik sepeda aja nggak bisa, sih?”
Jingga membelalak lebar. Orlin mengejeknya dengan pertanyaan sedikit menjengkelkan. Sementara Jingga berusaha meredam gejolak amarah. “Setidaknya motor baru tidak sampai penyok.”
Orlin menggeram. “Itu ‘kan baru belajar motor, wajar kalau jatuh sekali.”
Jingga merangkul pundak Orlin dan tertawa. “Jangan ngengas, nggak baik.”
****
“Hayo buka apa?” sergah Orlin.
Jingga menyembunyikan ponselnya di bawah bantal. Menghindari tatapan penuh selidik dari Orlin. “Bukan apa-apa.”
“Pasti buka instagram cowok tadi, kan?” tebaknya.
Jingga tersenyum tanpa perlu berpikir. “Kok tahu, sih?”
Satu detik.
Tiga detik.
Lima detik.
“Eh!” Jingga terperangah dan baru sadar dengan kalimat spontannya. Wajahnya disembunyikan di balik selimut biru, merutuki kebodohannya. “Orlin kepo banget jadi orang!”
“Jingga, cie... cie... cie...,” goda Orlin. “Rayan mau dikemanain?
“Jangan ngadi-ngadi deh lu,” sentak Jingga dengan nada pemain cilik di biskuat.
“Ketahuan kamu kalau lagi stalk orang.” Ada senyum tipis terukir di wajah Orlin.
Dapat Jingga pastikan sekarang Orlin melihat semburat merah bak tomat di pipi Jingga. “Aku cuman penasaran aja sama postingannya.”
“Terus gimana?”
Jingga mendelik. “Aku belum sempat buka.”
Orlin pasrah. Ia tidur di samping Jingga, menarik selimut menutupi dadanya. Belum sampai lima menit matanya terpejam sempurna. Mungkin Orlin kelelahan mengerjakan tugas sekolah ditambah latihan paskibraka.
Jingga kembali membuka ponselnya. Tangannya menekan username yang sudah Jingga tulis lengkap di pencarian instagram.
“Waw, dia suka travelling juga,” gumam Jingga.
Ada keterkejutan sendiri saat postingan yang pertama itu sangat familiar. Mulutnya terbuka lebar, itu foto dirinya yang tengah duduk memegang HP. Jingga ingin berteriak sekarang juga jika Orlin tidak berada di sampingnya.
Postingannya dibanjiri komentar pujian, membuat sudut bibir Jingga melengkung.
@setyakholipah9_ MasyaAllah keren banget!
@Ang.giw this is amazing
@Adinda.nvnti itu cewek siapa cantik banget?
@fitri.wln aw keren banget
@salsabila.zhr keju mozzarella khas Malang silakan
@putri.slndri pemandangan di Talang emang nggak diragukan lagi!
Jemari lentik Jingga mengetik sesuatu, namun beberapa detik kemudian menghapusnya.
“Astaghfirullah. Nggak boleh begini.” Jingga berusaha menguasai dirinya untuk tetap santai meski rasanya ingin loncat detik ini juga. “Nggak, jangan komentar apa pun ke dia.”
Jingga menyentuh layarnya, ia mengikuti instagram cowok itu. Kemudian melihat snapgram. Melihat cowok itu membuka sesi pertanyaan, tangan Jingga bergerak cepat untuk mengetik sesuatu di kolom pertanyaan.
‘Kamu masih ingat saya pernah ketemu di taman?’
Satu menit Jingga menunggu, belum ada respon darinya. Bisa jadi ia tidak menjawabnya mengingat follower-nya sangat banyak.
Bip!
@detiksenja menanggapi balasan anda.
Jingga tercengang melihat nama itu terpampang jelas dalam layar ponselnya. Jantungnya berdetak semakin cepat. Ia semakin cepat menggerakkan jemarinya.
Empat kata seolah tamparan keras bukan melalui fisik, tetapi hati.
‘Yang mana, saya lupa?’
Karena kesal Jingga unfollow akun tersebut. Ini sungguh memalukan menggunakan akun utama. Untungnya cowok itu tidak tag username-nya. Jingga berusaha mengenyahkan segala gundah.
*****
Usai pemanasan. Dian meminta kelompoknya berdiri membentuk dua shaf dan tiga banjar. Dian sudah berada di depan siap memberikan aba-aba LKBB.
“Pasukan saya ambil alih, istirahat di tempat, grak!” teriak Dian.
“Baju hijau, kalau istirahat di tempat kaki kirinya di pindahkan ke samping kiri. Terus lengannya ada di bawah pinggang. Jangan tegang.”
Jika Dian yang memberi aba-aba, maka Riska bertugas memperbaiki kesalahan.
“Siap, grak!”
“Lencang kanan,grak!”
“Perhatikan genggaman tangannya, pungung tangan hadapnya ke atas,” ucap Riska memperhatikan satu-satu pasukan di kelompoknya. “Kepalanya juga dipalingkan ke kanan, kecuali penjuru kanan.”
“Tegak, grak!”
Jingga dan Rayan yang berada di depan tidak asing lagi dengan aba-aba tersebut. Sedari SMP keduanya sudah diajarkan dan tentunya hapal mati.
“Langkah tegap maju, jalan!”
“Telapak kakinya sejajar sama tanah, lututnya lurus, kakinya jangan diangkat terlalu tinggi,” teriak Riska yang matanya fokus kepada adik kelas terutama yang baru bergabung.
“Henti, grak!”