“Kamu masih nggak mau balik rumah, Lin?” Angga bertanya pada Orlin di sela-sela makannya.
Orlin menghela napas sembari meletakkan sendok. “Saya nginep udah izin, bukan kabur kok, Om.”
“Orang tua kamu nggak melakukan kekerasan ke kamu, kan?”
Orlin menggeleng ringan. “Saya nyaman di sini dulu. Saya punya orang tua lengkap tapi berasa yatim piatu.”
“Orlin,” tegur Ibu. “Bagaimanapun mereka berdua orang tua kamu. Kamu harus hormati mereka walaupun sikap mereka ke kamu keterlaluan. Setidaknya kamu tidak dilantarkan di jalanan.”
“Buat apa kalau saya punya segalanya tapi kasih sayang kurang, Tan?” Alisnya menaut dalam. “Lebih baik hidup sederhana.”
Soal kebutuhan Orlin tidak pernah kekurangan. Soal uang ia selalu ada bahkan mendapat lebih. Tetapi tetap saja, kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang.
“ORLIN!” Dobrakan pintu terdengar keras menggema hingga membuat Orlin berdiri ketakutan. “Papa tahu kamu ada di sini!” Jantung Orlin berpacu cepat dengan buliran air mata yang siap tumpah. Tangannya bergetar sembari bersembunyi di balik punggung Jingga.
“Takut ...,” lirih Orlin. “Padahal Orlin sudah izin.”
“Jangan takut, kita keluar sekarang.” Angga membuka pintu dan menampakkan Hendra yang masih mengenakan jas kantornya. Ia berdiri berkacak pinggang dengan tatapan tajam menyapa Angga.
“Mana anak saya?” tanya Hendra menantang.
“Pa, jangan, malu ...,” lirih Orlin, ia memberanikan diri menghadapi papanya.
“Sini kamu!” Hendra menarik pergelangan tangan Orlin dengan kasar. “Kamu itu punya rumah besar ngapain tidur tempat orang? Apa belum puas?"
PLAK!
Tamparan keras mendarat mengenai pipi Orlin. Sementara Jingga, Angga, dan Anggi menatap cengo. Jingga mengurut dadanya, melihat betapa kasarnya Hendra dengan anaknya membuat ia beruntung dilahirkan di keluarganya sendiri.
“Pak, mohon maaf, jangan kasar sama anaknya.” Angga melerai, ia mendekat berusaha menenangkan Hendra. “Tindakan itu kasar dan menyakiti Orlin."
“Saya nggak bicara sama kamu!” ucap Hendra penuh penekanan.
“Bapak harusnya yang intropeksi diri. Orlin nginep di rumah saya karena dia trauma dengan masa kecilnya yang Anda dan istri Anda tinggal setiap malam di rumah dengan alasan pekerjaan. Bapak kira kemewahan yang—“
“DIAM KAMU!” bentak Hendra, menunjuk Jingga yang menentangnya. “Trauma dia udah sepuluh tahun yang lalu, nggak mungkin sampai sekarang. Saya biasakan dia di rumah sendiri supaya dia nggak alay dan terbiasa mandiri, bukan bergantungan terus sama orang lain.”
“Pak, jangan bentak anak saya!” ucap Angga penuh penekanan. “Mungkin perkataan anak saya benar sehingga Anda mengelak kenyataan."
“Saya akan tuntut kamu dengan kasus membawa kabur anak saya,” ucap Hendra, matanya nyalang.
“Pa, Orlin ‘kan sudah izin waktu itu sama Papa. Papa nggak bisa seenaknya dong,” teriak Orlin. “Orlin punya bukti chat izin sama Papa untuk minta izin!”
Angga mengedikkan bahunya tampak santai. Ia polisi, jabatannya tinggi. Selagi ia tidak bersalah, maka ia berhak membela dirinya serta keluarganya. "Silakan, saya juga bisa tuntut kamu dengan kasus kekerasan pada anak. Kalau bukan karena Orlin yang meminta saya, mungkin dari dulu Anda sudah mendekam di penjara.”
Hendra mengepalkan tangannya. Ia menarik Orlin untuk masuk ke dalam mobilnya dengan kasar. Jingga ingin mencegah, tetapi ibunya melarangnya.
****
“Kamu baik-baik aja, Lin?” tanya Jingga.
“Aku izin nggak masuk pelajarannya Pak Jum, badanku panas,” jawab Orlin dengan nada lirih. Ia menelungkupkan kepalanya di antara siku. “Aku mau tidur sebentar.”
Jingga menghela napas. Ia tidak tahu harus berbuat apa sementara tangannya hanya mampu mengusap bahu Orlin untuk menenangkannya. “Kalau kamu butuh, kamu bisa minta bantuan ke ayahku.”
“Sejahat-jahatnya Papa, aku nggak tega, Ji.”
“Ya udah, kamu tidur aja.” Jingga kembali memusatkan konsentrasinya pada buku paket di depannya.
“Harusnya kamu tahu kalau buku itu punya sekolah, kan?” Suara Bu Nabila berteriak lantang meneriaki seseorang, mengalihkan fokus Jingga.
Jingga membuka halaman buku setelahnya, menghiraukan omelan demi omelan Bu Nabila yang seolah menjadi lagu.
“Bu, bukunya nggak hilang, saya lupa.” Suara yang tidak asing itu mengganggu konsentrasi Jingga untuk menelusup jauh materi matriks.
“Tapi tetap aja bukunya nggak ada sama kamu, kan?” teriak Bu Nabila semakin keras. “Kalau kamu injam buku cuma mau ngilangin, mending nggak usah pinjam!”
“Terus saya harus gimana?”
“Saya nggak mau tahu pokoknya kamu harus ganti bukunya. Kalau nggak dapat buku yang sama seperti yang kamu pinjam. Kamu bisa ganti buku lain tapi yang hampir sama dengan buku yang kamu hilangkan. Itu sesuai aturan sekolah.”
“Kenapa nggak fotokopi aja, Bu?”
“Buku itu cuman satu di perpustakaan ini. Udah, ganti aja sana cari yang baru,” usir Bu Nabila. “Ngapain masih berdiri di sini?”
Salah satu orang galak di sekolah selain Pak Diki adalah Bu Nabila. Meskipun wajah Bu Nabila terbilang cantik dengan usianya yang masih kepala tiga, tetapi sifat garangnya itu membuat murid berdecak enggan memasuki kawasan perpustakaan.
Tetapi lain dengan Jingga, Bu Nabila seolah menjadi sahabatnya. Mengingat ia pelanggan rutin di perpustakaan yang selalu taat. Meskipun tidak setiap hari, setidaknya dalam satu pekan Jingga pernah mendatangi perpustakaan.
“Ngeselin banget!”
Suara bantingan buku di depan Jingga membuatnya menunduk agar tidak ikut campur dengan urusannya. Setidaknya dengan diam ia tidak menjadi pelampiasan amarah cowo itu.
“Baru juga hilang gini dah ngomel-ngomel.” Cowok itu masih menggerutu sembari menarik kursi hingga berbunyi decitan, membuat Jingga sedikit ngillu.
Ketika Jingga berusaha memfokuskan diri untuk tetap membaca dan menulis materi yang menurutku penting. Selintas ia membetulkan posisi sembari mendengar ocehan cowok di depannya. Umpatan kesal terus terlontar dari cowok itu.