“Pidato kamu tadi bagus,” puji Reyhan sembari menyeruput minumannya.
Jingga mengedikkan bahu tak acuh. “Aku aja nggak tahu. Aku cuma baca aja sesuai perintahnya Bu Nur. Intinya aku sudah usaha semaksimal mungkin.”
“Kita pekan depan ya lombanya?” Jingga mengangguk. “Sudah siap?”
“Sekarang aku siap-siap aja walaupun ragu. Tapi kalau nggak nyoba yang ada jadi penasaran.” Jingga tertawa kecil.
“Saya itu masih agak bingung sama intonasi tegas dan lembutnya. Malah kalau saya buat intonasi berasa baca puisi.”
Dahi Jingga berkerut bingung. “Kalau soal intonasi, dari yang aku pelajari di youtube. Pidato lebih tegas dan banyak penekanan dari suaranya, terlebih saat baca kaa 'pemuda'."
“Kamu sudah sering ikut lomba pidato, ya?”
“Enggak,” jawab Jingga sembari menggeleng. “Ini pertama kalinya. Karena dulu sempat dipilih lomba pidato sama guru dan anak-anak nunjuk aku. Tapi aku nggak mau. Lagian lombanya pas hari liburan sekolah, jelas aku nggak mau.”
“Pasti gurunya marah dan kamu dibilangin sombong?” Mata tajamnya mengerling.
Bibir Jingga menganga sempurna. “Kok kamu tahu?” Ingin rasanya Jingga tertawa di sini.
“Bukan kamu aja, saya juga waktu itu dipilih. Awalnya nggak mau, tapi dibilang sombong sama beliu akhirnya saya nurut. Lagian saya nggak nyesel karena juara dua, ” jelas Reyhan.
Jingga dan Reyhan tertawa bersama. Ternyata bukan Jingga saja yang mengalami itu.
Matanya terkunci pada binar mata tulus bahagia dengan iris coklat indah. Tawanya ceria memancarkan pesona. Jingga hanya tersenyum sesekali ikut tertawa melihat Reyhan.
“Sebenarnya niat bapaknya tuh baik. Cuman gimana ya—gitu deh.”
“Apaan, sih?” kekeh Jingga. “Liburan kemarin ya waktunya fokus sama keluarga, full day aku jarang ngumpul bareng keluarga. Btw, pidato kamu tadi hebat, lho.”
“Lebih hebat kamu.”
Mendengar itu, tawa Jingga reda. Bibirnya terkatub seiring dengan deguban jantung yan berdetak cepat. Jingga mengerjabkan mata, mengenyahkan pikiran tentangnya.
Tidak. Jingga dan dia hanya teman.
“Penampilan kamu sama di luar kok beda, Rey?” tanya Jingga, memperhatikan style Reyhan.
“Beda gimana?”
Jingga memutar bola mata malas. “Di sekolah kamu lebih culun pakai kacamata dan rambutnya nutupin jidat. Tapi kalau di luar sekolah lepas kacamata, bejambul kayak monas, sok cool.”
Reyhan terkekeh geli, ia menganggap kalimat Jingga sebagai pujian. “Saya emang suka beda. Ini kacamata anti radiasi yang saya pakai ketika berhadapan sama laptop. Lagian, saya cool di luar sekolah untuk menjaga image saya sebagai fotografer. Pakaian berbeda sesuai peran yang berbeda juga.”
“Kalian ngapain di sini?” Pria dengan tubuh jangkung berdiri tepat di samping Jingga. Melirik Jingga singkat kemudian menatap Reyhan lekat.
Jingga terperanjat. “Aku lagi bahas pidato sama Reyhan, kenapa?”
“Kelihatannya bahagia banget.” Sudut bibir Rayan terangkat dengan memandang Reyhan remeh.
Reyhan berdiri hingga kedua cowok itu saling menatap, tatapannya beradu tajam. “Mau ikut gabung?” Reyhan menawarkan.
“Nggak.” Rayan berlalu meninggalkan kantin.
Jingga meliriknya dari belakang hingga punggungnya menghilang di tikungan kelas. Ada debaran senang bergejolak yang Jingga rasakan saat ini. Hingga terlintas pikiran yang membuatnya ingin berteriak girang.
Apa dia cemburu?
Reyhan kembali duduk dan menatap Jingga aneh. “Cowokmu?”
Jingga tersenyum singkat seraya menggeleng ringan. “Sahabat,” jawabnya. Semoga otw suami nanti.
“Kamu suka ya sama dia?”
“Eh?” Jingga terperangah. “Enggaklah, dia cuman sahabatku dan kita masuk di ekskul yang sama.”
“Halo, bro!” Seseorang dengan rambut panjang tak terurus datang menepuk bahu Reyhan dengan keras, membuat Jingga merasakan sensasi ngilu. “Baikan kita, Bos.”
“Sakit, lol!” Reyhan tak tinggal diam. Ia kembali menabok punggung Kujang.
Jingga tidak tahu mengapa hari ini sedikit menyebalkan dengan kedatangan Kujang. Setelah Rayan menghampirinya, cukup membuat tangannya bergetar dan dingin. Sekarang melihat Kujang berada di depannya lantas membuat tangan Jingga ingin menonjoknya, detik ini juga.
“Ngapain kalian berdua di sini?” tanya Kujang, menatap keduanya penuh intimidasi.
Jingga mendelik sebal, Kujang benar-benar mengganggunya. “Harusnya kamu yang ngapain di sini?”
“Suka-suka, dong. Ini ‘kan tempat umum jadi siapa pun berhak untuk ke sini.” Kujang membela dirinya, membuat kedua tangan Jingga mengepal.
“Mending kamu balik-balik ke kelas aja, Jo.”
“Oke.” Sebelum pergi, Kujang membisikkan sesuatu kepada Reyhan yang membuat Jingga penasaran.
Jingga mencondongkan tubuhku berusaha mendengarnya. Tapi Kujang terlanjur sadar dan menatap Jingga kesal. “Kepo aja sama urusan orang.” Kujang berlalu dengan wajah menyebalkan yang setiap hari selalu ia tampilkan.
“AWAS AJA KALAU KAMU BERANI KE KELASKU!” Jingga berteriak nyaring, membiarkan seisi kantin menatapnya aneh.
****
“KUJANG!” Jingga berteriak saat segerombolan Jurusan Multimedia mendatangi kelas XI AKL 1, dipimpin Kujang. Cowok itu belum ada lelahnya mengejar cintanya.
Sudah kesekian kalinya Kujang ditolak mentah-mentah. Tetapi ia bersikeras ingin memperjuangkan cintanya. Membuat siapa pun muak dengan tingkahnya setiap kali mendatangi kelas dengan kancing tiga bagian atas dilepas.
“Betina ngamuk, woy!”
“Nggak pas banget datangnya kita ada si macan.”
“Aku balik dulu, Jang. Selamat menghadapi macan ngamuk.” Cowok berpakaian rapi yang paling pintar di kelas dua belas itu berlalu.
Bisikan dan ucapan ‘macan’ sangat terdengar jelas di telinga Jingga. Mereka sengaja mengatakan itu.
“Kamu pasti mau nembak Inah lagi, kan?” seru Jinga keras, tepat di depan wajahnya. “Dia itu sudah nolak kamu harusnya kamu sadar diri. Kamu kan ganteng banyak—“
“DEMI APA KAMU BILANG KUJANG GANTENG?” pekik Silvi refleks.
Seisi kelas XI AKL 1 histeris. Ah, Jingga salah bicara.
“Jangan kepedean, aku muji kamu supaya kamu nggak ke kelas lagi bukan niat dari hati.”
“Sehari aja kamu nggak suudzon bisa, nggak?”
Tiba-tiba Jingga tergagap saat mata Kujang menatapnya penuh keseriusan. Jingga mundur selangkah demi selangkah saat ia mendekat.
“Berani dekat lagi aku aduin ke Pak Diki,” ancam Jingga.