Lembayung Senja

Setya Kholipah
Chapter #8

Terungkap

“Ada yang kamu sembunyiin dari aku ya, Rey?” tanya Jingga ragu. 

Matanya menelisik langit yang sebentar lagi mendung. Membiarkan rona merah jingga yang sebentar lagi akan menggelap. Reyhan masih sibuk dengan kameranya dan mengabaikan pertanyaan Jingga. 

Dengan lancang Jingga berjalan di depannya kemudian menutup lensa dengan tangannya. “Kamu dengar aku ngomong, nggak?” 

Cowok itu menurunkan kameranya menyamai perutnya kemudian tertawa menatap Jingga. “Emang apa yang saya sembunyikan dari kamu?” 

Jingga mendengus.

Reyhan menghela napas. “Kalau pun ada yang saya sembunyikan. Itu bukan urusan sama.” 

Jleb! 

Benar. Jingga meneguk saliva dengan susah payah mendengar ucapan Reyhan menusuk hatinya. Semua karena Kujang yang membuatnya penasaran lantas menanyakan pada Reyhan. Harusnya Jingga tidak begitu mempercayai ucapan Kujang. Toh, ia yang paling suka mengerjainya.

“Mau pinjam kamera saya, nggak? Pemandangannya lagi bagus buat kamu foto.”

Selama beberapa hari kenal dengan Reyhan. Keduanya cukup akrab seperti teman lama. Meskipun Reyhan terkesan cowok pendiam dan kalem, tetapi mampu berbaur dengan Jingga yang terkesan cuek. 

Untungnya kedekatan keduanya tidak menimbulkan gosip mengingat keduanya tidak suka menebar sensasi. Reyhan lebih dikenal di sekolah lain daripada sekolahnya sendiri, melalui hobi fotografer Reyhan ikut organisasi di luar sekolah.

“Kalau rusak gimana?” 

“Bisa beli lagi,” jawab Reyhan enteng. 

Tangan Jingga memotret pemandangan hingga badannya sedikit membukuk untuk menghasilkan hasil yang bagus. 

“Rey, awannya bagus di kamera kamu.” Jingga berteriak nyaring. 

“Kameranya ‘kan mahal, maklum.” 

Jingga berdecak sebal. Semakin berteman dengannya Jingga tahu sifat asli Reyhan yang menyebalkan. Meskipun nyatanya benar-benar mahal kamera yang ia pegang. 

“Supaya objek manusia yang kamu ambil lebih bagus, kamu ambil normal angle. Jangan ketinggian kameranya, jangan juga terlalu pendek. Sedang-sedang aja—“ 

“Kayak lagu aja,” potong Jingga sembari tertawa renyah. 

Yang sedang-sedang saja." 

Jingga semakin tertawa saat Reyhan bernyanyi, meskipun suaranya fals, tapi cukup menghibur. “Kenapa nggak ikut audisi aja?” 

“Kalau saya ikut audisi, kasian yang lain.” 

“Kenapa?” 

“Tanpa nyanyi pun saya bisa menang.” 

“Cih! Sombong.” 

“Iri bilang bos,” kata Reyhan. “Coba sini kameranya, saya kasih contoh cara ambil foto yang bagus.”

"Pohon aja, jangan manusia."

"Takut ketahuan kayak kamu paparazi saya, ya?" 

"Jangan bahas itu lagi." Jingga mengembalikan kameranya.

Reyhan sangat totalitas untuk mengambil objek apa pun sehingga menghasilkan foto yang sangat bagus. Sekarang ia hampir tertidur untuk mengambil gambar agar terlihat tinggi,

Jingga antusias meraih kameranya dan melihat hasilnya. “Waw! Keren!” pujiku. 

“Siapa dulu yang foto?” 

“WOY! KALIAN NGAPAIN DI SINI!” 

Jingga dan Reyhan sama-sama menoleh mendengar teriakan Orlin. 

“Apa?” Jingga bertanya polos. Sedangkan Reyhan menatap Orlin dengan alis menyatu. “Aku les fotografer sama Reyhan.” 

Hilih. Modus aja,” cetus Orlin.  

Jingga mendengus. “Ngapain sih aku modus?!” elaknya tak terima. 

“Saya sama Jingga beneran nggak ada apa-apa.” 

“Heh! Yang bilang kamu ada apa-apa sama dia tuh siapa?” sewot Orlin. 

Jingga menahan tawa dengan susah payah membuat Reyhan mendadak terdiam. “Ayo balik, anterin aku pulang dulu, Lin.” 

*****

“Lin, sekarang kamu dimana?” tanya Jingga panik. Tangannya menggenggam gawainya erat-erat dengan pandangan yang tak lepas dari pintu rumah Orlin. “Lin, jawab!” 

Brak! 

Pintu didobrak kasar oleh Angga. Langkah kakinya menaiki anak tangga dan terdengar jeritan Orlin dari lantai dua. 

“Kamu diam di sana dulu, Ji,” perintah ayahnya. 

Jingga menurut dan bersembunyi ditemani Fadil yang siap melindunginya. Pria itu sesekali mengawasi Angga serta kelima anak buah Angga di atas. Tetapi fokusnya pada Jingga yang meringkuk ketakutan di ruang tamu. 

“Temanmu akan baik-baik aja,” ucap Fadil berusaha menenangkan Jingga. “Jangan sedih.” 

“Bang Fadil sudah hubungin orang tua Orlin?” 

“Mamanya sudah dihubungin dan sebentar lagi sampai. Papanya masih sibuk sama kerjaannya, jadi saya nggak tahu.” 

Ada rasa menyeruak nyata melihat perlakuan papanya Orlin yang keterlaluan. Jingga berharap Hendra segera pulang.

DOR!

Suara tembakan terdengar keras memekakkan telinga. Jingga menutup kedua telinganya dengan takut. Pikirannya melayang pada ayahnya yang masih berada di atas. 

“Bang Fadil, Ayah gimana?” tanya Jingga dengan suara bergetar. 

“Saya ke atas dulu.” 

Lihat selengkapnya