Jingga memikirkan kejadian di kelas tadi, membuatnya ia melamun. Besok adalah hari perlombaannya dan pikirannya harus fokus. Tetapi lagi-lagi ucapan Orlin membuatnya kembali mendelik kesal.
Orlin ; Assalamu’alaikum
Orlin : Kamu tadi nggak datang nungguin aku pulang, ya?
Orlin : Tadi aku mau minta maaf, aku udah cari kamu tapi kamu nggak sedangkan jam dua aku latihan di Talang. Jadi belum sempat ketemu.
Orlin : Reyhan cari kamu. Di ngajak kamu buat konten. Tapi kamu nggak datang.
Orlin : Kamu pasti masih marah, ya?
Orlin : Maaf. Aku terlalu banyak ngeluh dan nggak banyak usaha sampai kamu jengah. Aku nggak ngerti perasaan kamu yang pengin banget jadi paskibraka dan harus dengar keluhanku selama latihan. Hari ini terakhir aku di balikpapan karena besok pagi aku harus ke Samarinda untuk di karantina dan selama dua pekan lebih kita nggak ketemu.
Orlin : Jangan kangen, ya!
Orlin : Dua pekan kamu nggak akan dengar keluhanku lagi. Aku bakalan semangat. Kamu semangat juga semoga terpilih ngibar di sekolah
Orlin : Dan semangat ya semoga lombamu besok sukses!
Jingga menyunggingkan bibir dengan mata berkaca-kaca. Tangannya bermain di atas layar dengan rasa kesal dan sesal yang masih menyatu.
Jingga : Wa’alaikumussalam.
Jingga : Iya
Ting
Bola mata besar serta bibir menganga mewakili perasaan Jingga saat bunyi notifikasi dari Rayan. Jingga menetralkan detak jantungnya dan memejamkan matanya cukup lama.
Rayan : Assalamu’alaikum
Jingga : Wa’alaikumussalam
Rayan : Besok kamu lomba, ya?
Jinga : Ya
Rayan : Oh.
Jingga menghela napas, ia terlalu berharap Rayan mengucapkan semangat.
Rayan : Malam ini jangan lupa latihan sampai mantap supaya besok bisa santai. Besok jangan ada latihan biar nggak deg-degan. Sampai di sana baca doa banyak-banyak dan istighfar buat ngurangi gugup. Aku berdoa semoga kamu masuk provinsi nanti untuk wakilin sekolah.
Rayan : Ingat, selalu ada harapan untuk kamu yang selalu berusaha dan berdoa. Kamu kan hebat!
Jingga mengembungkan pipinya, membiarkan semburat merah memancar dengan sendirinya. Pertama kalinya Rayan mengetik kalimat sepanjang itu.
“Nggak, aku nggak boleh baper sama dia lagi.” Jingga menepis pikiran tentang Rayan. “Nggak boleh, aku cuman sahabat, nggak lebih.”
Apa Rayan merasakan hal yang sekarang Jingga rasakan?
Spontan Jingga menggigit ponsel hingga layar anti goresnya retak. Tapi Jingga mengabaikannya. Ia menepuk pipinya berulang kali memastikan bahwa orang itu adalah Rayan, orang yang Jingga kagumi sejak SMP. Rayan memberikan semangat sekaligus pujian yang membuatnya meleleh. Semua kegelisahannya lenyap seiring rasa haru menyeruak nyata.
Jantungnya berdebar dengan gejolak senang. Seolah ada kupu-kupu berterbangan di perutnya. “Ini bukan mimpi.” Jingga memastikannya lagi dengan berulang. Mengecek ponsel kemudian mematikannya. Hal ini Jingga lakukan berulang kali.
Jingga : Makasih banyak Ray. Kamu juga semangat latihan supaya terpilih ngibar di sekolah tahun ini!
Rayan hanya mengirim stiker jempol. Jingga memukul kepalanya pelan di bantal, masih tidak percaya. Semangatnya kembali berkobar seiring rasa optimis.
“Pokoknya besok harus menang!”
LASKAR (6)
Husen : Besok semangat buat yang lomba!
Abip : Kudoain, asal traktir kalau menang
Zara : Semangat, Ji!
Salwa : Kudoain, asal traktir kalau menang (2)
Jingga : Makasih semua! Soal makanan aman aja kalau aku menang.
Salwa : Semangat pokoknya!
Abip : Ray, kamu nggak kasih semangat ke Jingga?”
Jingga tersenyum membacanya. Ia dibanjiri kalimat semangat dari teman-temannya, membuat semangatnya bangkit. Tentunya Jingga tidak ingin mengecewakan mereka yang mengharapkan kemenangannya.
Reyhan : Semangat, walau kita bersaing, kita tetap jadi teman kok haha
Jingga menggeleng gemas membaca pesan Reyhan.
*****
“Selamat, ya!”
Senyum Jingga merekah saat ucapan selamat keluar dari bibir Reyhan. “Kamu juga selamat.”
“Iya, lumayan dapat sertifikat juara harapan satu,” ucap Rayan.
Jingga memeluk piala setinggi tiga puluh senti dengan perasaan membuncah. Mungkin ini terlalu berlebihan, tapi siapa sangka Jingga bisa meraih juara pertama sehingga ia harus siap mewakilkan Balikpapan untuk perlombaan ke tingkat provinsi.
“Ini juknis dari panitia untuk tingkat provinsi. Sesuai dugaan Ibu, pidatonya di Samarinda,” ujar Bu Nur.
Jingga membaca lembaran juknis dan mengangguk dalam diam. “Lombanya kapan, Bu?” Ada perasaan takut menggelora.
“Katanya tanggal 22 Agustus.”
“Saya 17 Agustus ngibar di sekolah, Bu,” ucap Jingga parau.
Jingga tahu bagaimana sifat waka kesiswaan, Pak Diki. Ada ketakutan tersendiri jika tahun ini Jingga tidak mengibar lantaran, sementara tahun depan Jingga tidak mengibar lagi dan akan menjadi pelatih, membantu Fadil.
Terkadang Pak Diki tidak ingin membuat fokus Jingga terganggu dan pasti meminta Jingga untuk fokus pada satu kegiatan saja. Terlebih ini menyangkut provinsi dan harapannya mampu membanggakan nama sekolah.
“Apa kamu wajib ngibar tahun ini?” tanya Bu Nur.
Jingga mengangguk lemas. “Ini terakhir kalinya saya ngibar, Bu.”
“Tunjukkan diri kamu kalau kamu sanggup mengambil dua-duanya. Wanita bukan disuruh milih aja, jadi kamu berhak menentukan semua yang kamu mau tanpa mengabaikan salah satu.”
Hati Jingga merasa tenang mendengar penuturan Bu Nur. Jingga mengenyahkan segala gundah yang menghampiri, ia percaya bahwa dirinya bisa.
“Tema pidatonya tentang kemerdekaan.” Jingga menghela sebelum akhirnya mengangguk.
****