“Pak Diki kayak nggak ada hari Senin aja,” gerutu Jingga. Ia menenteng piala sembari berjalan ke gazebo menemui Pak Diki. Ia tidak sendirian, ada Zara yang menemaninya meskipun wajah cewek itu masih jutek.
“Nanggung mungkin, beliau ‘kan jam tiga nanti mau latih panahan di lapangan belakang sekolah,” jawab Zara.
Di gazebo Pak Diki duduk, sementara pandangannya tidak lepas dari layar ponsel. Jingga menghampirinya dan meletakkan piala di meja.
“Pak, pialanya saya bawa pulang dulu, mau saya duplikat. Sertifikatnya sudah saya fotokopi dan dibawa sama Bu Nur, yang asli sama saya di tas,” jelas Jingga tanpa menunggu Pak Diki bertanya.
“Bukan itu keperluan Bapak manggil kamu.”
Jingga dan Zara duduk berhadapan dengan Pak Diki. Jingga masih ada sedikit kesal mengingat Pak Diki mengatakannya sombong. Meskipun sudah lama, tetapi membekas di ingatan. Namun, banyak siswa yang mengidolakan Pak Diki terutama bagi murid rajin. Wajar saja, sekolah selalu aman dalam kendalinya. Namun lain dengan Kujang dan teman-temannya, bertemu Pak Diki bagi mereka merupakan momok yang mengerikan.
“Ada apa, Pak?”
“Panitia ada ngirim juknis tambahan lewat email sekolah. Ini kegiatannya sekaligus kamu nginep di sana dua hari. Katanya selama nginep ada jalan-jalannya ke tempat bersejarah kayak museum, lumayan tuh.” Pak Diki memberikan lima lembar kertas yang baru saja di print berupa kegiatan selama dua hari.
“Sekolah ngizinin, kan?” tanya Jingga. “Nanti dapat alfa kayak waktu saya lomba presentasi karya tulis dulu.”
“Salahmu nggak kasih surat dispen ke Bu Lilis. Untung Bapak sudah jelasin ke kamu kalau kamu lomba.”
“Makasih, Pak.”
Pak Diki mengangguk. “Ini provinsi, lho. Kamu harus fokus ke sini dulu, menyangkut nama baik sekolah juga. Hadiahnya juga besar, sayang kalau dianggurin.”
*****
“Saya tadi dengar dari Pak Diki kalau kamu juara satu pidato, ya?” tanya Fadil.
Jingga mengangguk. “Saya emang lomba, Bang Fadil aja yang nggak percaya sama saya.”
“Makanya apa-apa itu izin kalau emang telat,” alibinya, mencari pembenaran. “Ngomong-ngomong, saya sangat tahu bagaimana keinginan kamu ikut ngibar tahun ini. Kegagalan kamu menjadi paskibraka tidak melunturkan semangat kamu untuk mengibar meskipun di sekolah. Tapi, kamu yakin mau ikut pengibaran tahun ini?”
“Siap, yakin!” jawab Jingga penuh antusias dan semangat. “Karena ini tahun terakhir saya ngibar, tahun depan ngelatih.”
Fadil menatap Jingga iba. Perjuangan selama satu tahun terakhir, Jingga selalu aktif dan siap memimpin meskipun saat itu ia kelas sepuluh. Jingga bisa diandalkan dalam semua peran seperti danpas atau pun danpok. Perlombaan LKBB pun selalu menang karena bantuan ide variasi formasi dari Jingga.
Tampaknya, perempuan itu benar-benar mencintai ekskulnya. Mencintai tantangan yang ketat dan tegas.
Fadil merasa kasihan jika Jingga tidak terpilih. Pastinya akan menimbulkan tanda tanya bahkan protes dari sahabat Jingga. Kedekatan Fadil dengan LASKAR yang tak lain nama dari keenam sahabat paskas itu membuat Fadil merasakan kembali masa putih abu. Sementara Rayan persis seperti dirinya.
Tidak hanya dari gerakan yang bagus, Fadil juga melihat keantusiasan mereka. Dan dapat Fadil lihat dari ratusan murid, Jingga yang lebih mencolok setelah Rayan.
Melihat semangat Jingga, Fadil harus berpikir dua kali untuk tidak memilih Jingga. Tetapi ada alasan lain yang membuat pria dewasa itu harus merelakan Jingga tidak terpilih.
“Kamu mau nggak kalau tahun ini nggak ngibar tapi saya jadikan ketua paskas, gimana?”
“Enggak mau.” Jingga menggeleng.
Bagi Jingga, bila bisa dua-duanya mengapa harus milih salah satu?
“Pasti Pak Diki yang suruh saya fokus sama lomba, kan? Padahal saya yang jalani, Bang. Serius, deh, jangan didengerin.”
“Kok kamu yang jadi ngomporin saya?” tanya Fadil dingin.
“Maaf.”
“Kamu ‘kan tahun kemarin ikut paskibra, masa tahun ini ikut lagi?”
“Kak Riska sama Kak Dian, dua kali juga. kenapa saya nggak boleh, Bang?”
Kehabisan kata-kata sudah. Perempuan di depannya selalu memberikan jawaban yang membuat Fadil macet untuk berkata lagi. “Saya nggak tahu, tadi kamu juga telat, tidak disiplin.”
*****
Jingga berjalan lesu menuju perkarangan rumah. Ia membuka pagar berwarna coklat sembari menenteng tas. Ia melepas sepatu dan meletakannya di rak dengan sisa tenaga yang ia punya. Hari ini adalah hari membanggakan karena Jingga berhasil meraih prestasi juara satu. Tetapi rasa bangga seakan dipenuhi rasa takut dan khawatir.
Jingga menutup pagar dan berjalan ke kursi untuk melepas sepatu. Badannya pegal, ia meregangkan otot-otot tangannya.
Setelah ia pikir. Mungkin ibunya tidak ridho dengan ekskulnya sehingga Fadil memberi ancaman tidak ikut mengibar tahun ini.
Tidak beberapa lama. Jingga menampilkan seulas senyum melihat motor Angga.
Ayahnya sudah pulang.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Kenapa mukanya ditekuk gitu?” Angga duduk di samping Jingga membawa secangkir kopi hitam. “Ada masalah?”
Jingga berusaha untuk tersenyum, menyembunyikan semua keluh kesah yang saat ini ia rasakan.
“Ayah dengar kamu juara satu, ya?”
Jingga menoleh dengan tatapan bingung. “Ayah kok tahu?”
“Tadi Ayah ke rumah Rayan, dia yang bilang kamu juara satu.”
“Belum selesai kasus ayahnya Rayan, Yah?”
“Udah,” jawabnya.
Jingga manggut-manggut paham. Ia berusaha mengindahkan segala pikiran dan gundah yang melanda.
Angga mengusap kepala Jingga lembut, senyumnya tersungging. “Ayah tahu kamu ada masalah.”
Jingga nyerah. Ia tidak bisa berbohong di depan ayahnya.
“Seorang Ayah mungkin tidak paham apa yang terjadi pada putrinya. Tapi seorang Ayah bisa merasakan sesuatu jika anaknya sedang tidak baik-baik saja. Maka dari itu, Ayah tanya, kamu ada apa?”
Ada perasaan haru melingkup, ayahnya selalu tahu apa yang dirasakan. “Bang Fadil.”
“Fadil kenapa? Dia berani macam-macam sama kamu?” tanya Angga penuh tantangan. “Bilang kalau dia berani macam-macam sama kamu. Tapi Fadil kalau marah atau hukum orang karena ada alasannya. Kamu nggak buat ulah, kan?”