“Ji, kamu pacaran, ya?” tuding Abip dengan ekspresi seperti biasa, menyebalkan. “Ngaku!"
“Cari tahu dulu informasinya supaya nggak kemakan hoaks.”
“Dih, Bang Fadil sendiri kok yang bilang.” Kini, Husen menimpali dengan wajah yang tak kalah menyebalkan.
“Iya sih, Bang Fadil kan nggak pernah bohong.” Salwa ikut membela kedua cowok itu, membuat Jingga berdecak.
Jingga meneguk minuman untuk menenangkan pikiran dari ketiga orang yang sudah membuat suasana hatinya memburuk. “Bang Fadil cuma bilang aku makan sama cowok, bukan pacaran.”
“Gebet aja semua cowok,” sindir Zara tertuju pada Jingga.
“Bener kata Jingga.” Rayan yang sedari tadi diam, ikut menjawab, membela Jingga. “Makan bareng nggak harus pacaran kali.”
Salwa melempar batu kecil mengenai kepala Abip. “Makanya jangan asal nuduh terus kerjaannya.”
Husen dengan gemas ikut melempar batu yang ukurannya lebih besar. “Suudzon aja terus jadi orang.”
“Sakit, woy!” pekik Abip.
“Lemah, baru dilempar belum dijedukin udah nangis,” timpal Husen.
“Lagian, aku heran sama orang-orang. Makan berdua aja diklaim pacaran.” Jingga mendelik sebal. “Aneh.”
“Iya, aku yang paling salah di sini, aku sadar kalau aku nggak benar.” Abip mendramatis, membuat Jingga ingin melempar bata di samping Salwa. Tetapi ia urungkan.
“Jangan alay deh!” decak Jingga masih dongkol.
Abip melemparkan topinya ke Salwa. Sedangkan Salwa membuang topi Abip ke arah lain.
“Eh asem jangan dibuang, kotor tahu!”
“Lagian ngapain lempar ke aku?”
Tidak ada jawaban dari Abip. Jika mereka sudah berdebat dan saling menjahili. Maka tidak ada yang berani melerai, membiarkan mereka terus beradu debat jauh lebih seru daripada melihat keduanya saling diam-diaman. Setidaknya suasananya sedikit cair dengan kehadiran mereka.
“Ray! Ambilin aku minum di tas!” teriak Husen tidak tahu diri.
Rayan memutar bola mata malas. Tidak ada penolakan apa pun dari Rayan. Cowok itu justru membuka tas Husen dan mengambil tumblr berwarna merah muda dengan motif bunga di pinggirnya.
Jingga terkikik geli, Rayan mau saja disuruh oleh Husen. Ia benar-benar babu alamiah Husen sejak dulu—hingga sekarang.
“Ray, Ray, kamu mau aja disuruh sama Husen. Aku sih ogah, kalau perlu aku tabok sekalian si Husen berani nyuruh-nyuruh dan nggak tahu diri lagi,” omel Abip.
“Iri bilang bos,” ucap Husen.
“Aku punya banyak utang budi sama dia.” Rayan menyodorkan tumblr ke Husen dan—hap. Ditanggap sempurna. “Husen kayak pahlawan buat aku.”
“Ini ‘kan tahun dimana kita terakhir ngibar. Kalau misalnya tahun ini kalian ada yang nggak terpilih gimana?” tanya Zahra mengalihkan perdebatan.
Keheningan menyergap. Selama mereka menjadi anggota paskas, mereka selalu terpilih dalam pengibaran bendera. Sedari SMP, persahabatan mereka sudah dikenal.
“Aku santai aja, lagian dari SMP aku sudah ngibar. Paling aku jadi pemimpin barisan aja kalau nggak terpilih paskibra," ucap Abip sombong.
“Aku emang nggak dipilih sama Bang Fadil.” Husen menyengir, membuat semua kompak melongo.
“Kok bisa?”
“Bang Fadil minta aku yang bantu ngelatih anak paskibra. Karena aku dipilih jadi petugas sama Kak Arga,” jawabnya dengan senyum rahasia.
Jingga mengaga dengan ekspresi terpukau. “Mantap, Sen. Tahun ini emang terakhir ngibar, makanya aku berjuang supaya dipilih Bang Fadil. Kalau emang nggak terpilih, ya sudah.” Jingga mengedikkan bahu pasrah, nyatanya ia menahan sedih.
“Semoga aja kita dipilih semua--” ucap Rayan, “kecuali Husen.”
“Weh, Bang Fadil datang,” pekik Salwa yang paling panik jika Fadil datang. “Baris woy!”
****
“Hari ini terakhir kali kalian seleksi. Jadi saya harap tampilkan sebagus mungkin,” ucap Bang Fadil dengan tegas, membuat semua terdiam. “Saya akan seleksi.”
Lapangan yang tadi diricuhkan dengan kata ‘siap’ kini mendadak senyap.
“Pegel juga senyum terus,” lirih Jingga. Cewek itu memaksakan senyumnya.
“Manis,” gumam Rayan dan berhasil membuat Jingga menoleh seketika. Pipinya bersemu merah dengan tangan sedikit gemetar lantaran gemas karena sikap Rayan yang terkesan sederhana, tapi berhasil meruntuhkan pertahanannya.
“Tes fokus sama LKBB, ya. Kalau ada yang salah langsung minggir aja,” ucap Dian dengan tegas.
Arga memberikan aba-aba. Dengan suaranya yang lantang, cukup mudah baginya memberikan aba-aba sehingga seratus murid lebih mendengarnya.
Di pinggir lapangan Fadil berdiri, diam-diam ia memerhatikan calon paskibra sembari membawa buku dan mencatat sesuatu. Matanya lalu fokus pada Jingga yang masih berdiri sedangkan sembilan puluh anggota lainnya sudah gugur.