Matanya menelisik dalam pada empat puluh siswa dan siswi yang berbaris rapi dipimpin oleh kakak senior serta OSIS. Memasuki bulan Agustus, bulan kelahiran Jingga. Kakinya melemas, sesuai yang Jingga duga dan pikirkan.
Ya, Jingga tidak terpilih.
Senyum ceria terus terpancar seolah Jingga baik-baik saja. Ia hanya tidak ingin dikasihani dengan tatapan melas mereka. Jingga bukan orang lemah.
Semua temannya tau apa keinginannya sejak dulu. Mereka tau betapa menyedihkannya Jingga ketika gagal seleksi paskibraka. Dan sekarang, Jingga tidak dipilih untuk mengibar di sekolah.
Mungkin Jingga dituntut untuk fokus terhadap pidato yang akan dilaksanakan setelah hari kemerdekaan. Setidaknya jika Jingga tidak tampil sebagai anggota pengibaran bendera di sekolah. Jingga masih diberi kesempatan untuk tampil pidato bertema kemerdekaan di ibu kota provinsi.
“Masing-masing banjar, dua kali belok kanan, jalan!” Suara Abip menggema nyaring menimbulkan gejolak ngeri yang Jingga rasakan. Teriakan tegas itu berhasil membuat bulu kuduk Jingga berdiri.
“Keren.”
Abip, Salwa, Zahra, dan Rayan terpilih sebagai paskibra mengingat ke-empat orang itu sedari SMP selalu menonjol dalam ekstrakurikuler paskas. Bahkan ia yang selalu mewakili sekolah dalam perlombaan baik tingkat kota atau pun provinsi hingga piala berjejer di kantor guru. Menjadi nilai plus sendiri. Membanggakan sekolah, bukan?
Sementara Husen dengan topi menutupi kepalanya juga mengawasi dan sesekali memberi hukuman apabila terdapat kesalahan.
Satu anggota salah, maka semua pasukan dihukum.
“Oy!”
Jingga mendelik pada seseorang yang meneriakinya. “Apa?” tanya Jingga ketus.
“Maaf ya kalau aku nggak ada jenguk kamu,” ucapnya. Binar matanya sungguh tulus. “Aku turut berdua cita.”
“Iya.”
“Kamu ngapain berdiri di sini, lihatin mereka latihan?” Matanya kemudian mengarah pada anak paskibra.
“Pengin aja lihat mereka,” jawab Jingga singkat. “Kamu mau ngapain? Godain teman kelasku lagi?”
Kujang menggelengkan kepala sebal. “Giliran benar-benar tulus dan ikhlas pasti dicurigain yang enggak-enggak.”
“Biasa emang kamu datang selalu yang nggak bener.”
“Iya dah serah kamu aja,” jawabnya dengan malas.
“REYHAN!” Jingga berteriak dengan lambaian tangan terarah pada Reyhan yang tengah berjalan memegang kameranya.
Reyhan berjalan menghampiri Jingga dan Kujang. “Kenapa?”
“Aku cuma nyapa doang, nggak ada nyuruh kamu nyamperin aku.” Jingga berujar polos.
“Oh!”
Jingga mengernyit saat tatapan mata Reyhan dan Kujang beradu dengan tajam. Membuat banyak pertanyaan ingin Jingga lontarkan. Terjadi kebisuan menyergap.
“Kalian kenapa?” Jingga membuka suara ketika bola mata keduanya masih beradu tajam.
“Kamu ngapain sama Kujang?” tanya Reyhan mengintimidasi.
“Dia nyamperin aja, ngobrol sebentar." Jingga tertawa kecil untuk mencairkan suasana.
"Ngapain ketawa?" tanya Reyhan.
Jingga meredakan tawanya dan terdiam sebentar sembari menggaruk pipi yang mendadak gatal. Jingga bingung harus apa, apa ia ada salah?
“Kalian kok tatapannya serem gitu, sih?” Jingga mulai tidak nyaman dan ada rasa curiga melanda.
“Kamu belum juga jauhin Reyhan, Ji?”
“Emang kenapa?” tanya balik bahkan kali ini lebih sewot.
Kujang hendak membisikkan sesuatu kepada Jingga. Namun Reyhan mendorong Kujang agar menjauh dari Jingga hingga Kujang itu tersungkur ke belakang.
“Maksud kamu apa, Jo?”
Kujang tersenyum sinis. “Aku peringatin sekali lagi sama kamu, Ji.” Tangannya menunjuk Jingga. “Hati-hati sama dia kalau dekatnya pakai hati, jangan sampai kamu kayak Adin.”
****
Jingga menyodorkan sebotol air mineral untuk Rayan. “Nih, minum.”
“Ray, aku bawa minuman untuk kamu. Jangan lupa minum.” Silvi menyodorkan botol minum mahalnya untuk Rayan. Membuat Jingga menarik minuman miliknya dengan perasaan canggung.
“Aku sudah dapat dari Jingga, Sil.”
Jingga menoleh dan melihat wajah Silvi berubah masam. “Oh enggak, punyaku biar aku kasih Abip atau Husen aja.”
“Tap—“
“Kamu dengar sendiri apa yang dibilang Jingga, kan?”
Dengan rampasan singkat Rayan duduk dan meneguk air mineral dari Silvi hingga habis. “Makasih.”
Untuk mengabaikan perasaan sesak karena kedekatan antara Rayan dan Silvi. Jingga sedikit menggeserkan tubuhnya menjauhi mereka berdua. Ia melambaikan tangan kepada Zara dan Salwa yang baru saja selesai mengantre ayam geprek.
“Capek-capek latihan, ngantrinya lama juga. Nasib dah, mau makan aja ribet," gerutu Salwa.
“Mana sempat keburu diembat kursinya.” Abip datang menduduki kursi yang sudah Salwa siapkan. Ayam geprek kesukaannya Abip letakkan di meja.
“ABIP!” pekik Salwa yang sontak menjadi sorotan. “Minggir sekarang, aku mau duduk di pojok!”