“Kamu kok tumben nganterin aku, Rey?” tanya Jingga.
“Emang kenapa, salah kalau saya antar kamu?” sewotnya yang mendapat respon gelengan dari Jingga. “Mama yang minta saya untuk antar jemput kamu ke sekolah karena nggak ada yang antar kamu lagi, Ji. Jadi kali ini turutin permintaan Mama.”
Jingga menahan senyum. Bolehkah Jingga baper?
“Kalau gitu, aku mau ketemu sama Mama kamu.”
“Nggak usah,” cegah Reyhan spontan.
“Kenapa?”
“Buat apa?” tanya Reyhan balik.
Jingga memutar bola mata malas. “Aku mau bilang makasih sudah melahirkan cowok baik hati dan lembut walaupun nyebelin yang kadang dingin dan kadang berubah humoris. Aneh.”
Reyhan tertawa kecil. “Kamu kalau ada maunya itu muji atau ngeledek, sih?”
“Tepatnya dua-duanya.”
Jingga tidak tau perasaan apa yang bergejolak saat ini? Sedikit pun ia tidak pernah berpikir untuk menyukainya. Setiap berada di dekatnya, Jingga merasa aman. Setiap bersamanya, Jingga merasa kembali hadir dalam semangat.
Terlintas bagaimana Rayan yang terkadang perhatian namun lebih memilih diam dan cuek. Mungkin cowok itu menganggap Jingga hanya sahabat, tidak lebih.
Persetan dengan menyukai cowok membuat Jingga kembali teringat ucapan ayahnya. Ayahnya selalu bersikeras apabila ia pacaran, cukup masa SD karena ketahuan surat cinta dari teman sekelasnya ia mendapat hukuman. Meskipun sekaranv tidak ada yang menghukumnya lagi walaupun pacaran. Tetapi Jingga selalu mengingat perkatan almarhum ayahnya.
Jingga tidak mau ayahnya menanggung dosa karenanya.
“Kalau Jingga sudah dewasa nanti, jangan mau diajak pacaran.”
Jingga mengerling dengan tatapan bingung. Meski Jingga memiliki banyak teman lelaki di kelas. Jingga tidak tertarik pada mereka, sama sekali. Bahkan ia tidak suka disentuh oleh cowok.
“Jingga nggak mau pacaran juga, Yah. Geli lihatnya.” Jingga bergidik geli.
“Banyak kasus terjadi karena pacaran, akhirnya patah hati. Parahnya ada yang hamil karena pacaran dan pasti yang disalahin cowok.”
“Emang ada yang begitu, Yah?”
“Sering, karena orang tuanya yang nggak terima anaknya dihamilin makanya dituntut ke jalur hukum. Walaupun anak perempuan sama-sama mau, ujung-ujungnya jatuh hukuman ke pria.”
“Kok bisa, Yah?”
Ayah mengedikkan bahu. “Itu sebagai pembelajaran semoga anak teman Ayah nggak kayak anak Ayah ini.” Angga mengusap kepala putrinya.
“Aamiin.”
“Ayah nggak mau kamu pacaran, anak Ayah nggak boleh ada yang sakiti. Awas aja kalau ada yang berani mendekati kamu dan ujung-ujungnya cuman ngasih luka."
Jingga tertawa dengan sifat posesif ayahnya.
"Berteman sama cowok juga jaga jarak. Dalam berpakaian harus yang benar sesuai syariat Jingga."
Jingga masih ingat permintaan almarhum ayahnya saat ia menduduki bangku SMP. Angga akan melarang siapa pun yang mendekatinya dengan berbagai ancaman yang membuat mereka takut.
Hanya Rayan, Abip, dan Husen saja yang kebal dengan perkataan Angga. Sehingga Angga mulai percaya kepada mereka untuk menjadi satu-satunya teman cowok Jingga. Bahkan Angga tidak tahu jika Jingga menyukai Rayan dalam diam.
“Jangan ngelamun, sudah sampai.” Ucapan Reyhan berhasil membuyarkan lamunan Jingga.
*****
"Eh, ada Jingga ternyata." Jingga mencium tangan Fitri. "Kabarnya gimana?"
"Baik, Tante." Jingga duduk setelah dipersilakan. “Jingga mau bilang makasih ke Tan—“
“Panggil aja Mama.”
“Iya, M—Ma.” Jingga memanggil dengan malu. Pipinya sudah merah bak kepiting rebus. “Jingga mau bilang makasih.”
“Untuk apa?” tanya Fitri dengan raut wajah bingung.
Jingga melirik Reyhan yang memalingkan wajahnya. “Makasih Mama sudah minta Rey untuk antar jemput Jingga. Sebenarnya Mama nggak perlu repot-repot karena Jingga bisa ojek atau angkot, kok. Banyak banget angkot di jalan, takutnya ngerepotin Rey.”
Fitri melirik Rey sekilas dengan gelengan kepala gemas. “Jadi kamu jual nama Mama, Rey?”
Jingga membisu dengan alis yang saling bertaut. “Maksudnya?”
Fitri menuangkan air minum dan menyodorkan pisang keju kesukaan Jingga. “Itu kemauan Rey sendiri—“
“Ma, jangan gitu.” Reyhan memotong pembicaraan Fitri.
Bukannya berhenti berbicara. Fitri justru tersenyum jahil sembari menatap Reyhan. “Reyhan sendiri yang minta antar jemput kamu. Tapi Mama nggak merasa keberatan sama sekali. Justru bagus karena—“
“Ma.” Lagi, Reyhan memotong pembicaraan Fitri dengan penuh penekanan. Ia malu.
“Rey, nggan sopan tahu. Mama belum selesai bicara.” Jingga mendelik dengan tatapan tajam pada Reyhan.
“Mama nggak ada nyuruh, itu semua kemauan dia.” Fitri menatap Reyhan. “Tapi Mama nggak keberatan juga. Lagian sekolah kalian satu arah.”
Helaan diiringi embusan napas panjang dari Reyhan terdengar membuat Jingga menggigit bibir bawahnya.
“Saya nggak bermaksud bohong. Mama nanyain kamu berangkat sama siapa dan saya ngajukan diri untuk antar jemput kamu. Mama setuju aja.”
“Akhirnya ngaku juga anak Mama.”
“Lagian Reyhan sama Jingga cuma teman, Ma.”
“Lah, yang bilang kamu pacaran sama dia tuh siapa?” Fitri menaikkan nada suaranya. “Lagian Mama nggak mau kamu pacar-pacaran. Kamu harus fokus sekolah dan kejar cita-cita kamu.”
Ternyata, prinsip Fitri sama dengan Angga. Melarang anaknya pacaran.
“Setiap berangkat dan pulang sekolah Jingga selalu diantar dan dijemput Ayah. Kecuali kalau ada Orlin yang mau nginep di rumah. Jingga pasti berdua sama Orlin karena dia sudah punya SIM.”
“Orlin yang mana tuh?”
“Ada, Bun. Orangnya cerewet banget.”
Jingga tertawa kecil mendengarnya.
“Kamu emangnya nggak bisa naik motor, Ji?”
Jingga menggeleng dengan mata meredup. “Nggak dibolehin karena masih di bawah umur. Kalau Ayah nggak jemput pasti dipesankan gojek atau anak buahnya Ayah yang antar Jingga."
"Kalian berdua kok bisa kenal, sih?" Fitri menatap Reyhan dan Jingga bergantian.
"Ketemu di Talang, Ma," jawab Jingga.
"Talang?"
"Taman Cemerlang Mama," jelas Reyhan.
“Oh taman dekat rumah itu.” Mama berucap dengan binar mata terkesima. “Maklum, Mama orang baru di sini.”
****
Buku harian berwarna kuning dengan sampul kartun, tampak imut. Sudah lama Jingga tidak membukanya. Untungnya tidak berdebu dan lecet. Dengan menulis seperti ini membuatnya merasakan sedikit kelegaan bisa mengeluarkan segela keluh kesah.