“Sahabatnya sampai interogasi kamu, Dil?”
Fadil mengangguk.
“Kenapa bisa gitu, ya?”
“Bahkan Rayan rela menggantikan Jingga.”
Ada senyum terpancar dari wajah Anggi. Mendengar cerita dsri Fadil. Ia bersyukur anaknya memiliki sahabat seperti mereka.
“Jingga sudah latihan tadi siang, apa Ibu masih melarangnya?” tanya Fadil.
“Jadi Ibu yang melarang Jingga?”
Tiba-tiba Jingga datang, berdiri di ambang pintu dengan tatapan tak percaya. Fadil dan Anggi sama-sama terkejut, keduanya saling pandang cukup lama sebelum akhirnya Jingga masuk ke kamar.
“Biar saya yang urus, kamu pulang aja, Dil.”
Tidak ingin menambah masalah, Fadil memutuskan untuk mengiyakan.
Anggi berjalan menuju kamar Jingga. Anaknya duduk di kasurnya dengan tatapan kosong.
“Jingga,” panggil Anggi.
“Ibu masih larang Jingga ikut ekskul paskas?” tanya Jingga, bahu perempuan itu bergetar menahan tangis.
Anggi duduk di samping Jingga dan mengusap bahu anaknya. “Ibu nggak bermaksud seperti itu. Ibu cuma nggak mau kamu kecapean.”
“Tapi Ibu tahu sendiri kalau Jingga suka sama pilihan Jingga, kan?”
“Ibu mau kamu fokus belajar, nggak usah ikut ekskul apa pun. Kamu itu mudah kecapean, kan?” Jingga menggeleng. “Ibu takut kalau kamu nggak jadi tentara, nanti kamu sedih lagi. Kemarin kamu nggak terpilih paskibraka nangis berapa hari coba?”
Jingga paham maksud ibunya, ibunya hanya ingin yang terbaik untuknya. Tetapi Anggi terlalu memaksa pilihannya.
“Walaupun Jingga nggak terpilih jadi paskibraka dan keluar dari ekskul paskas, bukan berarti Jingga mengubah keinginan Jingga. Tentara sudah jadi cita-cita Jingga dari kecil, sebelum opa meninggal.
“Paskas membantu Jingga untuk latihan fisik, mental juga, Bu. Kalau Jingga nggak masuk paskas, Jingga nggak mungkin sahabatan sama Rayan, Abip, Zara, Salwa, dan Husen. Jingga rindu Ayah yang selalu ngasih motivasi ke Jingga."
Dengan pasrah Anggi menghela napas. “Kalau itu kemauan kamu, Ibu nggak bisa maksa. Ibu ngizinin kamu dan silakan raih cita-cita kamu. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu.”
"Ibu ikhlas, kan?" tanya Jingga ragu.
"Kamu satu-satunya anak Ibu, harapan Ibu cuman kamu. Ibu nggak mau anak satu-satunya Ibu tertekan karena permintaan Ibu yang memaksa kamu."
Jingga memeluk Anggi. Menumpahkan rasa rindunya terhadap ayahnya. "Makasih, Bu."
"Ibu masak dulu, kamu 'kan capek habis pulang."
Anggi beranjak meninggalkan Jingga. Anggi teringat ucapan Angga kala itu.
"Bu, Anggi sudah dewasa, dia tahu mana yang terbaik untuk dirinya. Sebagai orang tua, kita memberikan dorongan bukan tuntutan. Dia berhak bahagia dengan pilihannya."
Anggi akan selalu ada untuk putrinya. Suatu saat putrinya akan merasakan gagal atau pun berhasil. Namun, dirinya harus selalu ada untuk Jingga.
Sementara Jingga duduk tersenyum. Ia harap segala hal baik menerpa, menghadirkan bayang-bayang indah nantinya yang akan ia raih.
LASKAR (6)
Zara meninggalkan grup
Abip : Loh?
Husen : Loh? (2)
Salwa : Loh? (3)
Abip : Jangan lah loh lah loh, tanyain lol dia kenapa?!
Husen : Kenapa?
Abip : Ya mana aku tau
Salwa : Dia ada masalah apa sampai keluar grup?
Husen : Nggak tau, sebelumnya dia nggak pernah keluar grup padahal
Abip : Wa, coba kamu tanyain Zara, dia ada masalah apa?
Salwa : Otw
Jingga : Aku minta maaf
Abip : Ada apa sih ini?
Husen : Kalian di kelas ada baku hantam kah?
Abip : Ngomong yang benar
Salwa : Ngomong apa ngomong?
Abip : Ngetik maksudnya
Rayan : Kenapa Zara keluar?
Jingga : Gara-gara aku
Abip : Coba selesaikan baik-baik aja jangan keluar-keluar grup
Husen : Etss ... tidak semudah itu
Salwa : Bukan waktunya bercanda Re, tumbuk kamu
Husen : Iya, nah, iya
Abip : Kenapa, sih?
Rayan : Ada apa?
Abip : Telat!
Ketika satu masalah sudah selesai. Kenapa masalah lain datang silih berganti?