Lembayung Senja

Setya Kholipah
Chapter #17

Pertengkaran

Jingga merengut melihat perlakuan Reyhan yang justru menatapnya, membuatnya merasa tidak nyaman. 

“Reyhan, yang benar dong dengerinnya. Aku capek tahu ngulang banyak kali gara-gara kamu.” Jingga menggerutu kesal dengan tangan berkacak pinggang. 

Bukannya takut, Reyhan justru tertawa keras. Jingga semakin menatapnya tajam. Melihat perubahan raut wajah Jingga, Reyhan menghentikan tawanya dan menampilkan gigi-gigi rapinya. 

“Oke, aku serius dengerinnya.” 

“Awas aja kalau kamu ketawa lagi,” ancam Jingga meskipun respon lawannya hanya deheman. 

Jingga kembali membaca pidato dengan serius tanpa melihat naskah. Semua kata yang ada di kepalanya keluar dengan lancar tanpa ada yang tesendat. 

Lagi, Reyhan menahan tawa yang membuat fokus Jingga lagi-lagi buyar. 

“Rey, depannya apa, aku lupa?” tanya Jingga di sela-sela pidato yang terpotong. 

“Generasi muda harusnya ikut berperan serta—“

Stop!” Jingga mengangkat tangan ke udara sebagai interupsi Reyhan untuk menghentikan ucapannya. “Generasi muda harusnya ikut berperan serta dalam membangun kemerdekaan. Setidaknya—“ 

“Contohnya, bukan setidaknya.” 

Jingga menepuk jidat gemas. “Biarin aja kenapa, sih?! Lagian beda sedikit itu nggak masalah yang terpenting maknanya sesuai sama naskah.” 

Serba salah. Reyhan menghela napas. “Sembarangmu aja,” jawab Reyhan lesu. 

Kali ini ia membiarkan Jingga berpidato panjang meski banyak kata tersendat dan tidak sesuai naskah. Membiarkan perempuan itu banyak bicara sesukanya daripada menegurnya kemudian salah lagi. 

Jingga berhenti sejenak beberapa detik untuk mengingat lagi. 

“Apalagi, ya?” 

Reyhan memilih bungkam.

Jingga menggaruk kepala dan bingung karena lupa kalimat apa yang harus Jingga ucapkan lagi. Ini semua karena Reyhan yang menampakkan ekspresi menahan tawa. 

“Kamu sih gara-garanya, aku jadi lupa 'kan,” ucap Jingga sebal.  

Reyhan tampak cengo dengan bibir membulat, membuatnya sedikit menggemaskan. Hanya sedikit. 

“Saya sudah nggak ketawa lho, Ji,” belanya, "kenapa saya yang salah?” 

“Kamu jangan lihatin aku makanya.” 

Reyhan menunduk, sangat menunduk hingga Jingga tidak bisa melihat wajahnya. “Sudah, saya nggak lihatin kamu.” 

Jingga melempar dedaunan kering ke arahnya dengan perasaan dongkol. “Jangan kayak gitu juga, yang ada aku ketawa makin keras nantinya.” 

Astaghfirullah.” Reyhan mengusap wajahnya gusar. “Kenapa saya serba salah, sih?” 

“Kan emang cowok begitu,” ucap Jingga berbangga diri karena dilahirkan dengan jenis kelamin perempian. 

“Nyesel kenapa aku nggak dilahirkan cewek aja,” gumam Reyhan. 

“Heh! Bersyukur kamu dilahirkan dengan jenis kelamin cowok. Banyak yang naksir juga ‘kan sama kamu,” decak Jingga spontan lantaran kesal. 

“Termasuk kamu, nggak?” 

“Eh?” Jingga terperangah dengan tatapan membingungkan. “Jangan ngada-ngada.” 

“Kan hati orang nggak tahu. Bilang nggak suka sama orang, eh tahunya diam-diam nyimpen rasa.” 

Entah mengapa sekelebat bayangan terngiang. Ucapan Reyhan berhasil mengingatkan Jingga pada Rayan. Rayan membuat dirinya mendadak pusing memikirkannya, cowok itu ternyata tidak menyukainya. Mungkin saja.

“Menurutmu aja. Nggak semua cewek gitu kali,” elak Jingga berharap tidak membahas topik itu. “Capek.” 

“Lho?” Reyhan mengernyit. “Kenapa?” 

“Aku mending latihan sendiri di rumah.” 

“Eh, kok gitu?” tanyanya lagi. 

“Kalau latihannya didengarin sama kamu. Aku nggak bisa fokus walaupun kamu nggak ketawa. Lihat mukamu aja jadi pengin nabok sangking nyebelinnya.” 

“Bawel banget!” 

Jingga merebut naskahnya. “Besok aku harus tampil depan Pak Diki l, ih.” 

“Pak Diki paling baik lho di kelas saya. Dia jadi guru kesayangan di kelas saya sampai sekarang. Meskipun beliau terlalu perfeksionis, tapi yang dilakukan beliau itu yang terbaik untuk muridnya. Mungkin kamu nggak nurut sama sarannya," bela Reyhan bangga. 

Jingga menjentikkan jari dengan antusias. “Nah, kalau itu benar banget, aku emang nggak ikuti darannya.” 

“Jadi kamu yang bandel.” 

“Ini bukan pemilu yang disuruh untuk memilih salah satu dari dua pemimpin. Karena bukan pemilu, aku berhak memilih keduanya, makanya aku langsung ditantangin sama Pak Diki tadi. Huh!” Jingga tertawa kecil, tampak santai.  

“Kalau saya pasti ngikutin rekomendasi Pak Diki. Biasanya nasihat dan sarannya itu terbaik.” 

“Kan biasanya, bukan pastinya. Nggak ada jaminan terbaik terus kali,” seloroh Jingga tak terima ketika Reyhan menyudutkannya. “Coba kamu ada di posisiku. Kamu bakalan pilih ngibar atau lomba ke provinsi?” 

“Kalau bisa dua-duanya kenapa harus pilih salah satu?” 

Ucapan itu persis dengan yang Jingga ucapkan kepada Pak Diki. “Nah, aku bilang kayak gitu.”

Reyhan terdiam. Dia kalah.

*****

Seperti perjanjian kemarin, Jingga mengajak Reyhan mendatangi ruangan Pak Diki. Ia berusaha menghilangkan rasa gerogi yang melanda. 

“Saya belum terlalu hapal semua, Pak,” ucap Jingga jujur. “Jadi, Reyhan yang ingatin saya kalau ada yang lupa,” lanjutnya seraya melirik Reyhan yang tersenyum manis pada Pak Diki. 

Dasar murid kesayangan. 

Pak Diki menatap keduanya secara bergantian dengan ekspresi curiga. “Kenapa harus Reyhan?” 

“Kemarin Bapak 'kan yang minta ngajak teman. Karena Reyhan teman saya, ya sudah, saya ajak Reyhan, Pak.” Jingga menjawab santai dengan tangan menopang dagu. 

Pak Diki tampak menghela napas kemudian menutup laptopnya. “Kan masih ada teman kamu yang cewek. Kayak Zara atau Orlin—eh Orlin karantina di Samarinda, Bapak lupa.” 

“Saya maunya Reyhan, Pak,” jawabnya untuk mengakhiri pertanyaan.

Jingga melengkungkan bibir. Bagaimana bisa ia mengajak Zara sementara sahabatnya itu masih mendiamkannya?

“Selama kamu belum lomba, kamu pidato di kelas lain, kelas yang beda-beda. Sementara saya mau lihat pidatomu dulu." 

“APA?!” Jingga memekik keras hingga Reyhan yang di sampingnya menutup telinga. “Yang bener aja, Pak.” 

“Emang kenapa kalau mau saya begitu?” 

Lihat selengkapnya