Lembayung Senja

Setya Kholipah
Chapter #18

BUBAR

“Reyhan di mana, Ma?” tanya Jingga pada Fitri setelah dipersilakan masuk. 

“Dia di taman belakang. Kamu samperin sana, kayaknya lagi ada masalah,” pinta Mama. Sementara Jingga manggut-manggut paham. “Kamu berantem sama Reyhan, ya?” 

Jingga menggelengkan kepala. “Bukan sama Jingga berantemnya, Ma. Jingga nyamperin Reyhan dulu, Ma.” Kemudian Jingga berlalu. 

Jingga melihat Reyhan yang tengah duduk dengan memegang kameranya. Ia benar-benar fokus mengutak-atik kameranya hingga belum kunjung menyadari kehadiran Jingga di belakangnya. 

Jingga berdehem saat ia belum juga menengok. 

“Kenapa?” tanya Reyhan, cowok itu masih fokus pada kameranya. 

Jingga mengamati kamera yang Reyhan pegang. “Lensanya pecah,” kata Jingga dengan bibir gemetar dan menatap ngeri kamera yang Reyhan dengan uang tabungannya. 

“Semua gara-gara Rayan,” ucapnya dengan kepalan tangan yang membuat Jingga merinding. “Kalau kayak gini aku nggak ngerti baikinnya. Kemungkinan besar nggak bisa diperbaiki lagi.” 

“Emang beneran dia yang jatuhin?” tanya Jingga dengan ragu.

Selama kenal dengan Rayan, cowok itu tidak pernah berbohong dan selalu bertanggung jawab.  

“Intinya aku lihat dia yang ada di samping saya sampai kameranya jatuh. Tapi dia nggak mau ngaku.” 

Jingga memutar bola mata malas. Ia hanya merasa bukan fakta. “Gimana kalau ternyata kamu sendiri yang nyenggol dan kebetulan ada Rayan di sana makanya kamu nyalahin dia?"

Reyhan diam sebentar. “Masa sih?” 

“Jadi kamu nggak lihat kejadiannya secara langsung?” 

Dengan polos Reyhan menggeleng, Jingga mengepalkan tangan ke udara gemas. Rasanya ia ingin memukul Reyhan jika tidak ingat betapa baiknya Reyhan kepadanya. 

“Kamu nggak bisa nuduh dia sembarangan karena dia ada di dekatmu. Kalau kucing yang di samping kameramu, kamu salahin juga?” 

Reyhan mengacak rambutnya frustasi sembari menatap kameranya. “Nggak tahu udah, pusing.” 

Jingga menghela napas panjang. “Ini lensanya aja yang pecah, kan?” 

“Kemarin sudah saya periksa compartment baterai aman, posisi baterainya sempat longgar tapi sudah saya balikin ke posisi semula.”

“Nanti aku bawa ke service temannya Ibu. Aku kenal orangnya, cukup terkenal kok dan rekomendasi juga untuk servis kamera.” 

Reyhan membulatkan matanya. “Tapi yang pecah itu kaca filter UV dan jelas nggak bisa diperbaikin.” 

Jingga memutar-mutar kamera Reyhan. Sedikit miris pecahannya, terlebih ini kamera mahal, sangat disayangkan jika dibuang begitu saja. Pinggiran depan lensa terbelah dan kaca depan untuk autofocus terlepas dari tabung lensa, untungnya tidak sampai pecah.

“Biar aku bawa dulu.” 

“Saya takut kalau Mama sampai tahu kamera ini nggak bisa diperbaiki."

“Kamu pakai kamera sudah berapa tahun?” 

“Dari SD.” 

“Masa tentang kamera aja nggak tahu,” sindir Jingga berdecak kesal. 

“Bukan gitu, kalau cara mainkan kamera saya tahu. Tapi kalau sudah problem dan rusak kayak gini, saya nggak bisa apa-apa. Dulu Papa yang selalu baikin. Ini pertama kalinya kamera saya rusak parah, biasa cuma error atau berjamur,” cerocos Reyhan. 

Jingga memutar bola mata malas. “Masalah kerusakannya kayak punya teman aku. Malah parahan dia sampai nggak bisa diperbaikin—“ 

“Tuh 'kan kalau nggak bisa diperbaiki," sesal Reyhan lemah dan terdengar putus asa. 

Jingga terkekeh. Ternyata di balik sifat Reyhan yang menyebalkan, ia bisa sekhawatir ini dengan kemeranya. 

“Aman, nanti aku balikin kalau sudah jadi.” 

“Jangan kamu malingin.” 

Jingga yang tengah mengalungkan kameranya lantas berkacak pinggang dengan murka. “Kamu sudah dibantuin bukannya makasih malah nuduh yang enggak-enggak. Rumah aku di Balikpapan, kalau aku bohong, kamu bisa datangin Ibu. Aku nggak punya tempat tinggal lain selain di Balikpapan.” 

“Iya, saya percaya. Uangnya nanti saya ganti, bilang aja berapa dan sebut nominalnya. Kalau perlu saya lebihin.” 

Jingga memukul bahu Reyhan dengan lidi yang berserakan di bawah bangku. 

“Aku nggak minta ganti. Anggap aja sebagai imbalan karena kamu sudah antar jemput aku.” 

“Nggak bisa gitu. Pokoknya nanti saya ganti uangmu.” 

Jingga menjulurkan lidah. “Kalau kamu ganti, kameranya aku banting.” Kemudian berlari masuk ke dalam rumah Reyhan. 

Melihat Reyhan yang mengejarnya, Jingga segera berlari mencari keberadaan Fitri.

“Eh kenapa kalian lari-lari kayak gini?” tanya Fitri yang tiba-tiba saja muncul dari balik dinding. 

Jingga segera berlari ke arah Fitri dan bersembunyi di belakangnya untuk menghindari Reyhan yang terus mengejarnya.

“Reyhan nakal, Ma.” 

“Pokoknya saya ganti uangmu.” 

Jingga mengangkat kamera ke udara. “Mau aku banting?” 

“Ma, coba lihat Jingga. Masa mau banting kamera Reyhan.” 

“Fitnah!” seru Jingga tak terima. “Jingga mau baikin kamera punya Reyhan. Tapi dia nuduh Jingga terus.” Jingga mendramatis, membuat Fitri menatap Jingga kasihan. 

“Reyhan jangan ngejar-ngejar Jingga terus."

Jingga terus menjulurkan lidah dan tersenyum penuh kemenangan saat Fitri bembelanya. 

Wlek!” 

"Kameranya kenapa, Rey?"

Jingga dan Reyhan diam. Mereka melemparkan pandang.

"Biasa, masalah kecil, jangan khawatir, Ma," ucap Reyhan sesantai mungkin.

"Ya udah, jangan gangguin Jingga terus. Awas kamu berani ganggu dia!"

Reyhan membulatkan matanya. “Ma, anaknya Mama tuh siapa, sih?” 

“Jingga sudah Mama anggap sebagai anak sendiri,” ucap Fitri. Sontak membuat Jingga membatu tak percaya. 

*****

“Itu tempatnya.” Jingga menunjuk tempat servis cukup besar yang menjual banyak jenis kamera. 

“Jangan lari.” Perintah dari Reyhan Jingga turuti. 

“Malam, Bang,” ucap Jingga santai pada Bang Ken. 

Lihat selengkapnya