Jingga tersenyum senang saat kamera milik Reyhan sudah berada di genggamannya. Tidak butuh waktu berminggu-minggu, beberapa hari setelah Jingga menginapkan kamera Reyhan. Bang Ken sudah meneleponnya dan mengatakan kameranya sudah baik.
Untuk biaya mungkin terlalu mahal bagi Jingga, tetapi Bang Ken memberinya diskon karena ia teman ibunya. Dan ibunya dulu juga banyak membantunya.
Ternyata benar. Kebaikan di masa lalu tanpa imbalan akan dibalas di masa depan. Jika bukan pada orang yang sama, maka orang yang berbeda.
Jingga ingin memberi kejutan kepada Reyhan. Reyhan sudah banyak membantunya. Entah mengapa Jingga berpikir siapa orang yang sebenarnya dirinya suka? Reyhan atau Rayan?
Jingga menepis pikiran buruk itu. Prinsip say not to pacaran tetap berkeliaran di pikirannya.
Pintu rumah Reyhan terbuka dan memperlihatkan Kujang keluar dari rumah Reyhan dengan wajah kesalnya. Meskipun tidak terlalu jelas, Jingga masih bisa mengetahuinya dan menerawang.
Kujang pergi membawa motornya hingga menimbulkan bunyi keras yang tidak mengenakkan. Motor modifikasi. Maklum.
Tanpa ada rasa ragu dan penasaran lagi. Jingga berjalan mendekati pintu rumah Reyhan yang masih terbuka. Namun, langkahnya berhenti saat suara samar-samar seseorang terdengar begitu serius. Jingga mendekatkan jaraknya pada pintu dalam posisi diam mencerna ucapan itu.
“Jadi, kamu belum ada kasih tahu Jingga tentang Mentari?” Ucapan Fitri sukses membuat Jingga terhenyak. “Kenapa kamu nggak mau kasih tahu dia?”
Jingga memejamkan mata sembari menghela napas. Cukup lama Jingga tidak menunggu jawaban dari Reyhan. Jingga tidak tahu harus berbuat apa di balik pintu. Harusnya Jingga tahu, tidak seharusnya ia menguping, tetapi rasa penasarannya semakin bergejolak.
Terjebak dalam situasi yang benar-benar berat. Ada apa ini, kenapa berhubungan denganku?
“Apa kamu suka sama Jingga sampai sembunyikan ini semua, Rey?”
“Suka ...,” lirih Jingga.
Tentang perasaan suka, Jingga masih tidak tahu kepada siapa hati ini melekat. Rayan atau Reyhan? Lagi-lagi pikiran itu kembali menghantuinya.
"Apa kamu nggak kasihan sama Jingga, jangan jadikan Jingga pelampiasanmu Reyhan."
“Reyhan sudah buat komitmen sama Jingga, Ma. Reyhan masih sayang sama Mentari tapi belum siap kehilangan Jingga,” ucap Reyhan, “apa Reyhan nggak bisa suka dua-duanya?”
Ucapan berat dan lemah yang keluar dari bibir Reyhan mampu membuat Jingga berpikir lebih keras.
Ada rasa menyergap yang bercampur aduk sehingga Jingga tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya. Pertanyaan tentang siapa Mentari dan maksud dari ucapannya itu membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa selain berdiri.
Tetapi dengan kekuatan yang Jingga kerahkan. Ia melangkahkan kaki hingga kini Jingga berdiri gamang di ambang pintu menatap Reyhan dan Fitri yang bebicara serius.
Poni panjang yang menutupi dahi Reyhan disisir ke belakang. Ia terbeliak melihat tatapannya beradu kepada Jingga. "Jingga ..."
Fitri yang duduk lantas berdiri memandang Jingga dengan wajah bingung harus berbuat apa. Hanya itu yang bisa Jingga deskripsikan bagaimana ekspresi Reyhan dan Fitri.
Masih terhanyut dengan pikiran kalut Jingga menghampiri Reyhan dan menyerahkan kameranya. “Ini, sudah dibaikin sama Bang Ken. Jingga pamit dulu.”
“Ji, berhenti!” teriak Reyhan.
Jingga menghiraukan teriakan Reyhan dan semakin berjalan cepat, Mungkin ia terdengar seperti kekanakan, tetapi satu sisi Jingga tidak ingin berurusan apa pun dengannya, untuk kali ini.
“Dengarin saya dulu.”
Tiba-tiba Reyhan mencekal tangan Jingga yang membuat cewek itu terhenyak.
Jingga menepisnya secara kasar hingga terhempas ke udara. Sebelumnya Jingga belum pernah bersentuhan dengannya, bukan hanya Reyhan, untuk bersentuhan dengan cowok tangannya seketika bergetar.
Jingga berhenti dan berbalik memandang Reyhan yang diam tanpa ekspresi. Napasnya naik turun.
“Maaf, kalau nggak gitu, kamu nggak mau berhenti,” ucapnya tulus dengan perasaan bersalah.
Jingga menghela napas panjang sebelum akhirnya angkat bicara. “Aku nggak pernah sembunyiin semuanya dari kamu. Aku selalu cerita sama kamu, Rey. Tapi kamu yang suka rahasiain semuanya.”
“Bukan gitu—“
“Aku tahu kalau aku bukan siapa-siapa kamu dan nggak berhak untuk ungkit masalah kamu. Maksud Mama bicara tadi apa, Rey? Kamu yang bilang sama aku kalau kita komitmen, kan? Terus maksud Mama pelampiasan itu apa?” Jingga mengusap air matanya. Ia merutuki kebodohannya, suka pada orang yang salah.
“Saya bingung harus jelasinnya gimana karena kamu nggak bakalan ngerti. Ini rumit untuk dipahami, Ji. Sa—saya suka—saya nggak tahu,” ucap Reyhan gugup.
Jingga tertawa hambar. Tawa menyakitkan yang berusaha ia tutupi. “Sekarang aku tanya, siapa Mentari?”
Reyhan diam yang membuat Jingga kembali tertawa kecil.
“Aku sebelumnya nggak pernah kayak gini, Rey. Kenapa kamu jadiin aku pelampiasan?” tanya Jingga terisak. “Kamu sendiri yang bilang kalau kita saling menghargai perasaan satu sama lain. Tapi kamu nggak ngehargai perasaanku juga, kamu punya orang lain, kan?”
“Bukan gitu, saya nggak mau cerita tentang Mentari karena saya ngejaga perasaan kamu. Saya--” Ucapan Reyhan menggantung, membuat Jingga menunggu agar ia segera menyelesaikan ucapannya. “Saya nggak mau kamu jauhin saya kalau kamu tahu soal Mentari.”
“Kamu bilang menjaga perasaan aku? Sekarang aku tekankan, mamu kira aku suka sama kamu?” tanya Jingga. Reyhan diam dan mengusap rambutnya ke belakang. “Bukan berarti kita dekat aku suka sama kamu.”
Jingga tidak tahu, apakah ucapannya ini benar atau untuk berspekulasi bahwa dirinya baik-baik saja.
*****
“Kamu kenapa pulang dari rumah Reyhan kok murung gitu?” Anggi masuk dan bertanya sembari membawa nampan untuk Jingga makan. “Kamu ada masalah sama Reyhan?”
Jingga memeluk guling dan menyembunyikan wajahnya. “Jingga nggak pa-pa.”
“Kamu nggak mau cerita ke Ibu?” tawarnya.
Mendapat tawaran sepert itu lantas membuat Jingga menyingkirkan guling agak jauh dari jangkauannya. “Ibu, kalau Jingga suka sama cowok gimana?”
“Rasa suka itu wajar asal nggak berlebihan dan sesuai porsinya, tapi jatuh cintanya sama yang halal. Kalau berlebihan nggak baik, karena kalau ujung-ujungnya sakit hati, ngobatinnya susah. Jangan sampai perasaan cinta kepada makhluk melebihi rasa cinta kamu kepada pencipta-Nya.”
“Bu.” Jingga menggigit bibirnya takut. “Kalau suka sama dua orang cowok gimana?”
Anggi menatap Jingga terkejut. Ya, terlalu rumit bicara soal cinta terlebih lagi Jingga masih labil soal cinta-cinta. Berbeda dengan Orlin yang begitu pengalaman tentang cinta meskipun ujungnya selalu kandas tanpa sebuah kepastian yang jelas.