Laki-laki berperawakan tinggi dengan tatapan dingin menghiasi wajahnya tengah berdiri sembari berjalan mondar-mandir memegang ponselnya. Sesekali ia menempelkan punggungnya pada tiang yang berdiri gagah.
Jingga berlari menghampirinya dengan napas memburu. Biasanya, bertemu dengannya adalah keharusan yang patut dihindari. Tapi hari ini ia membutuhkan cowok itu. Terkadang ia bingung dengan jalan pikirannya mengapa bisa sekepo ini.
Mungkin Jingga terlalu munafik untuk bicara yang sebenarnya. Lantas, Jingga tidak tahu bagaimana awal rasa ini bergejolak.
Di sini, tempat yang mengingatkanku pada ayahnya. Masih ada sedikit ketidakrelaan menghinggap di hati. Tetapi berusaha keras untuk mengikhlaskan adalah jalan terbaik daripada terbayang kehampaan tanpa seorang cinta pertama.
“Lama banget, capek nunggunya tahu,” omelnya, manik matanya menatap malas. “Aku telpon berkali-kali nggak diangkat. Dikira nggak capek apa?!”
"Kamu 'kan tahu sendiri aku masih latihan paskib.”
“Iya dah mentang-mentang anak paskib.” Kujang berjalan mendahuluinya sementara Jingga mengekorinya.
Ada perasaan ragu datang saat Jingga memasuki ruangan bernuansa putih dengan bau obat-obatan yang menusuk indra penciuman.
Setelah menutup pintu Jingga kembali mengikuti Kujang yang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong. Ia mematung. Sementara di sana ada seorang perempuan yang terbaring tak berdaya dengan peralatan yang melekat hampir semua tubuhnya.
Sebuah kejadian yang membuat Jingga menarik napas dalam-dalam. Ia dapat melihat jelas seorang cowok yang duduk di sisi brankar dan membelakanginya tengah memegang tangan cewek itu.
“Bangun ya, nggak kangen apa sama aku?”
Sebuah kalimat yang membuat Jingga perlahan merasakan sesak di dada menjalar ke hati. Ia menepis perasaan itu, nyatanya ia merasakan cemburu melihat adegan bak sinetron di depannya.
Reyhan.
Cowok itu duduk dengan genggaman tangan seakan memberikan kekuatan pada cewek yang masih tertidur pulas. Tidak ada yang berani menegurnya begitu juga dengan Kujang yang berdiri terpukau melihat kejadian itu.
Tidak tahu harus berbuat apa, Jingga hanya berdiri menatapnya yang membelakanginya. Siapa perempuan yang terbaring lemah itu?
“Tar, jangan pernah tinggalin aku.”
Ucapan itu keluar dari bibir Reyhan setelah beberapa menit terjadi keheningan. Rupanya cowok itu belum menyadari kehadiran Jingga dan Kujang. Atau mungkin ia menyadari ada seseorang yang masuk ke ruangan tetapi bersikap seolah pura-pura tidak tahu?
Reyhan sangat mengharapkan perempuan itu segera bangun.
Jingga masih tidak paham apa yang terjadi. Bahkan Kujang tidak ada mengeluarkan kata-kata sama sekali, membuat suasana canggung.
“Aku cinta sama kamu. Kamu harus bangun dan segera pulih. Katanya kamu mau tunangan sama aku, Tar?”
Kalimat itu sukses membuat napas Jingga tercekat. Sesak menghantam dada hingga membuatknya mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. Desiran perih menjalar di hati diiringi air mata yang siap lolos mengenai pipi.
Jingga melirik Kujang berdiri kaku tanpa reaksi apa pun. Mungkin ini alasan Kujang mewanti-wanti agar Jingga menjauhi Reyhan
Sesaat Jingga sadar, untuk apa ia marah? Bukankah Jingga yang memutuskan komitmen itu?
Jingga mengusap air mata yang lolos tanpa ragu di pipinya. Ternyata sesakit ini menyukai seseorang. Pantas saja ayahnya bersikeras untuk pacaran. Belum pacaran saja Jingga sudah merasakan nyesek luar biasa.
Kujang menoleh melihat Jingga dengan helaan napas panjang.
Kujang mendekatkan jaraknya. “Dia Mentari,” bisik Kujang sangat pelan. "Dari awal aku mau jujur, tapi kamu pasti nggak percaya." Jingga menghiraukannya.
Bisikan Kujang belum membuat Reyhan yang duduk di sana menyadari kedatangannya.
Siapa dia? Mengapa Reyhan mencintainya? Hanya pertanyaan itu yang memenuhi isi otak Jingga. Setidaknya Jingga butuh jawaban itu.
Jingga berani melangkahkan kakinya mendekati Reyhan. “Dia Mentari, ya?"
Tubuh yang sedari tadi duduk lantas berdiri menatap Jingga dan Kujang secara bergantian. Reyhan berusaha menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
“Jingga.”
Jingga menggeleng dengan kecewa meskipun Jingga tidak tahu alasan apa yang membuatnya merasa tersakiti. Jingga merutuki dirinya sendiri mengapa bisa secemburu ini, sementara ia tidak ada hubungan apa pun dengan Reyhan.
Terkadang perasaan ini benar-benar menyulitkan.
“Jadi ini kata Mama pelampiasan?” tanya Jingga, menampilkan smark smile.
Jingga membuka pintu dan berlari mengambil tas dan menyampirkannya di punggung.
“Jingga, saya bisa jelasin.”
Kujang mengedikkan bahu seakan tidak peduli. Itu bukan urusannya dan memilih menghampiri Mentari.
Jingga mengacuhkan panggilan yang memenuhi gema lorong rumah sakit. Jingga menggeleng bingung, Reyhan memberikannya komitmen tetapi dia sudah memiliki orang lain yang singgah di hatinya. Ia hanya terlena dengan ucapan yang nyatanya tanpa kepastian.
Jingga menghempaskan tangan Reyhan saat ia menyentuhnya. “Rey, aku nggak suka disentuh cowok!” tegasnya.
“Dengarin penjelasan saya dulu. Ini yang saya takutkan kalau kamu tahu siapa Mentari sebenarnya,” ucap Reyhan berusaha sabar. "Dengerin aku!"
"Apalagi yang mau kamu bicarain?" tanya Jingga terisak.
Reyhan memejamkan matanya cukup lama.
Tiga bulan yang lalu...
Mentari berlari kecil dengan tawa cerianya. Sebuah tawa yang menjadi alasan Reyhan untuk terus tersenyum. Sama seperti namanya, memberikan sinar kepada dunia agar tidak berada jalan kegelapan hingga tersesat.
“Tar, ayo pulang. Papa sudah nunggu kita di mobil.”
Bukannya mengikuti perintah Reyhan. Mentari terus berlari mengejar kupu-kupu yang terbang terlalu tinggi. Pada nyatanya, percuma.
“Ih, kabur kupu-kupunya.”
“Kayak anak kecil aja. Buruan pulang!” pinta Reyhan.