“Jang.”
Merasa terpanggi, Kujang menoleh dengan wajah datar. Sudut bibirnya sedikit melengkung.
“Aku minta maaf.”
“Reyhan cerita sama kamu, ya?”
Jingga mengangguk dengan ragu. “Jangan marah sama dia.”
“Kamu belum ada pulang?”
Jingga menggeleng pelan. matanya melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul enam. “Sebentar lagi magrib, aku salat di rumah sakit dulu baru pulang.”
Kujang manggut-manggut paham. "Mau kuantar, nggak?" Jingga menggeleng.
Jingga menggigit bibir kerika keheningan merebak. Ini bukan Kujang seperti yang Jingga kenal dengan wajah menyebalkan ketika mengganggu teman sekelasnya. Semua senyumnya lenyap.
“Inah itu mirip banget sama Mentari, sesekali kamu perhatikan dia, pasti mirip.” Kujang berusaha menampilkan senyum sembari menatap langit. “Aku nggak tahu gimana caranya dekat sama cewek sampai hal gila itu aku lakukan sama teman-temanku. Mentari lebih milih cowok humoris kayak Reyhan.”
“Humoris?” Jingga mengerutkan kening.
Kujang berjalan menendang rerumputan tinggi di sekitarnya. “Sebelum Mentari koma. Sifat kita berbeda jauh bahkan seketika diri kita tertukar. Aku berasa jadi Reyhan yang dulu, sedangkan Reyhan jadi aku yang dulu. Aku orangnya dulu cuek sedangkan Reyhan humoris, tapi cuman sama Mentari aja."
“Pantas, bibit-bibitnya masih ada.”
“Dia yang selalu buat Mentari tertawa dan yang aku bisa lakukan cuma perhatian kecil. Kelas sebelas aku nggak sengaja ketemu Inah. Aku berasa melihat sosok lain dalam diri Inah tapi dia cewek pendiam yang nggak banyak tingkah kayak Mentari.
“Dari situ, aku putuskan untuk mengubah diri jadi kayak gini. Aku cuma pengin dia bisa tertawa, tapi terlanjur sifatku menyebalkan.”
Jingga berusaha mencari kebohongan dari mata Kujang namun tidak ditemukan. “Kamu hanya perlu jadi diri sendiri tanpa mengubah diri kamu. Semua cewek nggak kayak Mentari dengan selera yang sama.”
Kujang tersenyum miris. “Dua orang cewek yang berbeda tapi sama-sama menolak.”
“Jang—“
“Mama nggak pernah ngerestuin aku sama Mentari begitu juga keluarganya dia karena kita sepupu. Demi mama aku berusaha lepasin Mentari, tapi sampai sekarang pun aku masih berharap sama dia. Sedangkan Inah, teman sekelasnya nggak ngerestuin. Miris.”
“Kamu itu orang baik, Jang. Kamu pasti dapat cewek yang jauh lebih baik dan terima kamu apa adanya.”
“Semua orang ngomong kayak gitu enak.”
“Jang, ikhlasin walau sulit jauh lebih baik daripada sakit hati yang mendalam di ke depannya,” ucap Jingga sukses membuat Kujang meliriknya lama.
“Reyhan pasti beruntung punya kamu,” gumam Kujang pelan, tetapi Jingga mampu mendengarnya.
“Sudah azan, lebih baik kamu salat dan tenangin diri kamu.” Melihat Kujang tersenyum, membuat Jingga merasa terenyuh.
*****
“Kamu dekat sama Reyhan juga, ya?” tanya Husen sembari menutup pintu ruangan paskas. “Aku sering lihat kamu diantar jemput sama Reyhan.”
Jingga membulatkan bibir paham. “Reyhan sendiri yang nawarin aku. Biasanya aku sama ayah atau Orlin,” ucap Jingga sedih.
“Maaf kalau buat kamu sedih lagi,” ucapnya penuh penyesalan.
“Karena saat latihan aku pulangnya sering kesorean bahkan mau magrib jadi Reyhan yang antar aku. Mungkin kalau pulang seperti jam biasa aku bisa naik angkot,” jelas Jingga.
“Orlin kapan baliknya?” tanyanya.
Jingga mengedikkan bahu. “Dia belum tahu pastinya kapan. Karena sampai pengibaran pun dia masih ada kegiatan lain di Samarinda. Mungkin tanggal dua puluhan dia baru balik ke Balikpapan. Kenapa, kangen, ya?”
Husen terlihat salah tingkah sembari menggaruk kepalanya. “Bukan gitu.”
“Btw, kamu kenapa kok tumben nanya tentang Reyhan?”
“Aneh aja katanya kamu suka sama Rayan tapi dekatnya sama Reyhan.”
Jingga tertawa cukup keras. “Mungkin aku sekadar kagum aja kali. Lagi pula, aku juga males mikir begitu, yang ada malah bikin ribet.”
“Kalau aku jadi kamu, mungkin dua-duanya sudah aku sikat. Lumayan, kapan lagi bisa dua,” kata Husen dengan sombong. Untungnya dia cakep meskipun sampai sekarang belum pernah pacaran.
“Itu kamu. Lagian kalau aku suka sama dua-duanya, keduanya juga belum tentu suka balik sama aku.”
“Kalau misalnya dua orang itu suka sama kamu, kamu pilih siapa, Rayan atau Reyhan?”
Pertanyaan itu sontak membuat Jingga menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Reyhan lama dengan mata tajam.
“Jangan serem natapnya, pertanyaanku susah, ya?”
Jingga menghela napas. “Males bahas begitu, Sen. Urusan cinta-cintaan di masa SMA kayak gini masih labil tahu!”
“Tapi banyak aja yang sampai nikah.”
“Kalau kita berpatok sama banyaknya yang bahagia tanpa lihat lebih banyaknya yang berakhir menderita. Itu bakalan susah. Banyak yang pacaran SMA ujung-ujungnya putus, makanya orang tuaku selalu berpesan untuk nggak pacaran.”
“Dapat siraman rohani akhirnya,” gumamnya pelan. “Kalau gitu, buruan balik kelas aku mau tutup pintunya.”
“Eh, Jingga. Jangan lupa persiapkan pidatomu,” ucap Pak Diki.
Jingga dan Husen sama-sama terkejut tiba-tiba Pak Diki datang dari arah yang tidak diduga dengan membawa laptop serta tasnya. Sedangkan Jingga mengacungkan jempol.
“InsyaAllah, Pak.”
“Buset, Pak Diki kalau lewat pasti ngingetinnya yang begitu. Heran,” ujar Husen dengan pandangan terkesima.
****
“Eh aku nggak nyangka besok kita sudah nginep aja dan lusa pengibaran.” Abip mondar-mandir di ruang paskas. Tak lupa merapikan jenggot di dagunya mulai tumbuh sedikit.
Husen mengusap kumis tipisnya. “Aku ikut kemah aja ah. Siapa tahu bisa modusin adik kelas.”
Salwa melayangkan guling kecil mengenai kepala Husen. “Jadi cowok yang bener, jangan modusin cewek aja bisanya. Cupu!”
“Kamu suka sama Husen, Wa?” tanya Abip mendramatis, nadanya dibuat menyedihkan seolah menjadi korban penganiayaan. “Jadi—aku nggak menyangka kalian melakukan ini di belakangku.”
Gantian, guling di tangan Salwa mengenai lengan Abip saat cowok itu hendak duduk di samping Salwa, membuat bunyi mengerikan terdengar. “Kalau ngomong, dijaga. Malu dilihatin adik kelas.”
“Kalian ribut banget. Capek tahu lihatnya, tapi seru juga,” celetuk Jingga.