Lembayung Senja

Setya Kholipah
Chapter #23

Saling Dukung

Jingga menggenggam tangan dingin dengan tubuh terbujur kaku di brankar. Jingga tersenyum kecut. Mentari. Orang yang berhasil mencuri hati Reyhan dan Kujang. Perempuan yang pastinya memiliki sejuta pesona dengan caranya yang sederhana.

“Kamu, cepat sembuh, semua orang khawatir sama kamu,” lirih Jingga.  

Di belakang ada Reyhan yang berdiri. Terdengar derap langkah kakinya menghampiri Jingga.

“Dia betah banget tidurnya,” gumamnya lirih dan lemah, tampak tidak semangat. “Tapi dia memiliki harapan bangun, aku yakin.” 

Jingga berusaha untuk tersenyum meskipun perasaan sakit itu berdentum. Pada akhirnya Jingga yang merasakan sakit akibat perasaan yang berlebih. 

“Aku akan temenin kamu, sampai Mentari bangun. Kita 'kan sahabat?” 

Mata Reyhan menatap Jingga teduh dengan helaan napas panjang. “Aku antar kamu ke sekolahan. Kasihan punggung kamu, pasti capek, tasnya berat.” 

Bukan saatnya Jingga memintanya untuk memilih antara dirinya atau Mentari lagi. Menambatkan hati pada seseorang yang hanya bergantung pada komitmen pada akhirnya berujung ketidakpastian. Meskipun semua status komitmen tidak berakhir menyakitkan, tapi Jingga cukup tahu dan menghindarinya.

Jingga tidak ingin berharap terlalu banyak. Menjadi sahabatnya sudah cukup untuknya. 

“Reyhan, jangan antar aku ke sekolah dulu.” Reyhan mengernyit heran.

*****

Sebuah diary berwarna biru Jingga berikan kepada sepasang suami istri yang tengah menatapnya dengan ekspresi bingung. Ia menyodorkan diary milik Orlin sembari tersenyum manis. 

“Ini apa?” tanya mamanya Orlin dengan bingung. 

“Tante, Orlin pengin banget Tante dan Om hadir. Orlin pengin dilihat sama Tante dan Om,” ucap Jingga ramah. “Orlin cuman minta ini aja. Tolong dikabulkan ya, Tan.” 

*****

Setelah menunaikan salat zuhur. Semua anggota paskibra dipanggil ke lapangan untuk mengadakan gladi bersih. Semua lapangan sudah dipenuhi oleh anggota paskibra. Mengingat hari ini adalah hari Jum’at dimana hari yang ditunggu-tunggu untuk banyak murid karena pulang cepat. 

Tetapi ada yang mengeluh ketika hari kemerdekaan jatuh pada hari Sabtu, hari libur. Kebanyakan murid berharap tanggal merah jatuh di saat jam sekolah saja daripada hari libur.

“Kalian baris di lapangan, sekarang!” teriak Fadil. 

Anggota paskibra yang tadinya mengumpul dan bercerita lantas mengikuti perintah Fadil. Sedangkan Husen dan Rayan tengah bermain basket di lapangan. Sebenarnya Husen dan Rayan tidak perlu ikut bermalam di sekolah. Tapi Husen dan Rayan tetap bersikukuh untuk ikut membantu Fadil dan kakak kelas lainnya. 

Mereka adalah dua sejoli yang sangat kompak. 

Suara Fadil yang sangat tegas menggema, memberikan pengarahan untuk persiapan hari esok. Hari yang ditunggu-tunggu bagi anggota paskibra adalah hari esok. Mengibarkan bendera. 

Semua anggota paskibra istirahat di tempat dengan pandangan lurus ke depan. Sesekali menatap Fadil yang berdiri tegak dengan arah berlawanan. 

“Besok kalian harus siap menunjukkan kehebatan kalian. Jangan sampai kalian berlatih selama berminggu-minggu membawa hasil mengecewakan. Apa kalian bisa?” 

“Siap, bisa!” Suara kompak itu memenuhi lapangan. 

“Husen, Rayan, jangan di lapangan, ganggu aja kalian. Main agak jauh sana!” 

Kedua cowok itu menampilkan wajah kesal. Rayan melempar bola basket ke luar lapangan kemudian duduk di sisi lapangan, di bangku yang sudah disediakan. Sedangkan Husen mendekat ke arah Fadil. 

Akibat terlalu dekat dengan Fadil, Husen sering kali santai dan tidak takut dimarahin apabila bukan jam ekskulnya. 

Setelah mendengar arahan dan motivasi dari Fadil. Semua anggota paskibra yang mengenakan seragam olahraga lantas berdiri tegak dan siap melakukan gladi bersih.

“Rayan, tolong lirik-liriknya nanti aja kasian anak orang nggak fokus,” sindir Husen. 

“Apaan, sih?!” 

Selama gladi Jingga merasa Rayan memerhatikannya, membuatnya terkadang tidak fokus. Fokus, Ji, fokus. 

****

Setelah menunaikan salat isya berjamaah di masjid sekolah. Sekarang jam menunjukkan pukul delapan dan semua anggota paskibra berkumpul di lapangan untuk makan bersama. 

“Pasti nasi goreng lauknya, yakin aku,” gerutu Husen. 

Sendok di tangan Abip melayang mengenai Husen. “Syukurin aja, masih mending kamu makan gratis. Udah jarang bayar uang kas, ngelunjak lagi mintanya. Dasar manusia.” 

“Heh, gini-gini walaupun aku jarang bayar uang kas. Kalau sekali bayar duitnya ngalahin kalian semua yang ada di sini,” ujar Husen dengan sombong. 

“Sombongnya jadi manusia,” ucap Jingga muak. 

“Iri bilang bro.” 

Lihat selengkapnya