Balikpapan, 17 Agustus
Pagi ini adalah pagi istimewa bagi insan dimana semua aktivitas dimulai dengan hari yang berbeda. Manusia menjalankan apa yang direncanakan serta mewujudkan apa yang sudah diharapkan.
Doa dan syukur selalu dipanjatkan serta berjuang tanpa kenal kata menyerah. Semua tantangan akan ditaklukkan di pagi hari ini juga. Menampilkan semua yang sudah diperjuangkan dengan harapan mengesankan adalah keinginan dari anggota paskibra SMK Martadinatha.
Kini, teringat 74 tahun yang lalu, ikhtiar panjang bangsa Indonesia untuk terbebas dari belenggu penjajahan tunai pada 17 Agustus 1945. Sebuah peristiwa dan upacara sakral yang dinanti-nantikan oleh seluruh bangsa Indonesia selama lebih dari tiga ratus tahun, sejarah yang tidak akan pernah dilupakan bangsa Indonesia.
Pada hari itu, di Jalan Pengangsaan Timur, Jakarta Pusat. Bendera merah putih yang dijahit oleh Fatmawati akhirnya dikibarkan. Suasana haru dan penuh semangat mewarnai saat Ir. Soekarno membacakan teks proklamasi yang diketik oleh Sayuti Melik.
Momentum yang tidak akan pernah terjadi tanpa serangkaian peristiwa yang melatarbelakangi.
Sekarang, generasi muda saat ini yang harus mempertahankan kemerdekaan, menghargai perjuangan para pahlawan yang telah gugur.
*****
Jingga memejamkan matanya cukup lama, menikmati semilir angin yang berhembus menerpa wajahnya. Bulu kuduknya berdiri diiringi detak jantung yang berdegup kencang. Ketakutan masih ia rasakan namun bayang-bayang ekspektasi indah dan nyata ia dambakan. Semoga lancar hari ini. Itu doanya.
Kemudian Jingga memasuki ruang paskas lagi. Cukup lama Jingga mematut dirinya di depan cermin besar. Make up yang tidak begitu tebal, serta baju dan aksesoris lengkap melekat di tubuhnya. Cukup menarik. Sebuah lengkungan bak bulan sabit tercetak jelas di bibirnya.
“Sarung tanganku kok kegedean sih padahal kemarin pas aja,” adu Salwa dengan ekspresi sebal. “Pasti ditukar sama Abip,” tudingnya.
“Astaghfirullah. Jangan sembarangan nuduh kamu, Sal. Kalau nggak percaya, coba pakai punyaku, pasti kebesaran di kamu," tutur Abip tak terima.
Salwa mengerucutkan bibirnya. Melihat perubahan ekspresi Salwa, Jingga melepaskan sarung tangannya dan memberikannya ke Salwa.
“Mungkin punyaku pas di tanganmu,” ujar Jingga.
“Eh nggak usah, pas aja kok sarung tanganku.” Salwa menampilkan cengirannya, menampakkan gigi rapi dan putihnya.
“Banyak maunya Salwa ini, bilang aja biar tampil keren di hadapan doinya. Ngaku aja kamu, Wa!” tukas Husen sembari memasang selendang petugas upacara.
Salwa mendesis pelan. “Iri bilang bos!”
“Nggak ada ceritanya bos iri sama karyawan,” jawab Husen santai.
“Gimana, kalian sudah siap?” tanya Arga yang tiba-tiba datang dengan pakaian upacara lengkap.
“InsyaAllah siap, Kak!” jawab anggota paskibra kompak.
“Kalau kalian mau sarapan dulu, sarapan aja nggak pa-pa. Pak Diki ngasih konsumsi ke kalian, Kak Dian lagi bawa minuman, tuh.” Arga menunjuk Dian mengangkat sekardus minuman gelas.
“Kakak nyuruh makan, ceweknya sudah pakai lipstik,” celetuk Zara. Beberapa detik kemudian ia membekap mulutnya setelah sadar berbicara dengan siapa. “Eh, Kak Arga maaf.”
“Iya, kalau ada apa-apa bisa ke saya aja.” Arga tersenyum kecil.
“DEMI APA?!” pekik Abip tak percaya. “Kak Arga kalau ke Zara manis banget, sok lembut juga,” lanjutnya semakin pelan.
“Bilang apa kamu, Bip?” tanya Arga penuh intimidasi dan tatapan tajam.
Abip menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Bercanda, Kak.”
“Bang Fadil kemana, Bang?” tanya Husen.
“Upacara di Lapangan Merdeka,” jawab Dian.
Setelah itu, Arga yang merupakan purna 2018 memimpin doa bersama. Mereka berharap sukses dan tidak ada kesalahan yang dilakukan oleh paskibra.
“Bismillah. Kalian semua harus semangat! Jangan sampai angkatan ini mengecewakan, kalian sudah dilatih berminggu-minggu. Jangan tegang, tetap rileks. Walaupun kalian hanya mengibar di sekolah bukan berarti santai dan acuh. Dasarnya sama, tanamkan di hati jiwa nasionalisme kalian.” Arga menunjuk dadanya dengan pandangan menajam. Mata hitam legamnya menatap anggotanya yang sebulan ini ia latih.
Semua anggota paskibra lantas berkumpul membentuk lingkaran. Menyatukan tangan mereka di tengah-tengah dan sejajar dengan perutnya. “PASKIBRA SMARTHA 2019, SUKSES!” Lalu mereka mengangkat tangannya ke udara.
“YEAY!” Lalu, dilanjut tepuk tangan meriah dari anggota paskibra.
*****
Dengan ancaman Pak Didi sebelum upacara berlangsung membuat semua murid diam menerapkan kedisplinan serta ketertiban.
Lapangan senyap, semua murid dengan tertib melaksanakan upacara. Tidak ada yang mengobrol atau pun bercanda. Tugas dari OSIS sekbid keamanan mengawasi serta mencatat murid yang ribut.
Husen dengan gagah memasuki lapangan upacara, tepat di tengah-tengah lapangan yang sangat luas, menjadi sorotan semua murid. Bahkan ada yang bergumam dan berbisik memuji ketampanan dan jiwa kepemimpinan Husen.
“Kepada, pemimpin upacara, hormat, grak!”
"Tegak, grak!"
Teriakan Rayan menggema, semua murid mengikuti intruksinya dengan hormat lalu tegak.
Setelah pemimpin barisan memberikan laporan kepada pemimpin upacara. Suara Husen menggema sebagai perintah kepada pemimpin barisan untuk berdiri di samping barisannya masing-masing. Dengan langkah tegas, pemimpin barisan mengikuti perintah Husen.
Protokol upacara dibacakan secara berurutan seperti penghormatan serta laporan kepada pembina upacara. Hingga kini waktu yang ditunggu bagi anggota paskibra telah tiba.
“Luruskan!” perintah danpas yang tak lain adalah Abip. “Lurus.”
“Pengibaran Bendera Merah Putih diiringi lagu kebangsaan ‘INDONESIA RAYA’.”
Anggota paskibra menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Detak jantungnya berdegup kencang seolah ingin lepas dari tempatnya. Sementara Husen mundur beberapa langkah ke belakang untuk memberikan ruang lebih luas kepada pasukan pengibar bendera.
Jingga, perempuan itu tidak henti-hentinya berdoa dalam hati dan berusah fokus, merilekskan pikirannya. Ia takut jika angkatan paskibra tahun ini mengecewakan. Namun, buru-buru pikiran itu segera ditepisnya. Proses panjang satu bulan seleksi serta latihan, semuanya pasti berjalan sesuai yang diinginkan.
Tak terkecuali pada Arga, Dian, dan Riska yang berada di barisan ikut berdoa. Bagaimana pun mereka yang melatih, artinya ikut bertanggung jawab.