“Makasih sudah datang awal,” ucap Rayan.
“Kalau sudah janji, harus ditepatin,” jawab Jingga tersenyum simpul.
Jingga menggeser tubuhnya sedikit memberi jarak kepada Rayan yang saat ini duduk di sampingnya. Udara sore hari memberikan kehangatan dalam tubuhnya. Suasana di Talang tidak begitu ramai lantaran di setiap kampung mengadakan lomba 17 Agustus.
“Ada yang mau kamu omongin, Ray?” tanya Jingga.
Rayan menarik napas dalam-dalam. Matanya terpejam dengan napas teratur. “Aku nggak tahu sejak kapan perasaan ini ada, Ji."
Jingga meneguk salivanya susah payah. "Ma--maksudnya?"
"Sejak SMP sebenarnya aku sadar kalau aku mulai suka sama kamu. Tapi aku nggak tahu gimana ngungkapin perasaan itu.” Rayan menatap Jingga teduh, tatapannya menghangat.
Jingga menggigit bibirnya. Ia memalingkan wajahnya memandang danau. Dulu, hal ini yang paling Jingga tunggu. Namun sekarang perasaan itu perlahan memudar.
Mengingat kejadian beberapa hari ke belakang mampu menyadarkan Jingga. Ia tidak ingin menghancurkan persahabatannya sendiri karena persetan dengan cinta. Keinginan Jingga terhadap sahabatnya tidak banyak. Ia ingin tetap bersama tanpa ikatan cinta apa pun dan mengobrol tanpa ada rasa cangung.
Selama SMK, mereka belum terbilang sahabat jika solidaritas hanya Abip dan Husen. Sekarang Jingga ingin memperbaiki hubungan persahabatannya itu kembali erat tanpa rasa canggung sedikit pun.
“Kita sahabat, Ray,” lirih Jingga.
“Kalau kita sahabat emangnya kenapa?” Rayan menaikkan alisnya bingung. “Peraturan geng LASKAR nggak ada ngelarang anggotanya untuk pacaran.”
“Allah yang melarang kita pacaran Rayan.”
Rayan terkesiap. Ucapan Jingga berhasil menohok hatinya. Cowok itu mengusap rambutnya frustasi. Keputusan Jingga tetap sama seperti dulu.
“Kamu tahu kenapa Abip kick semua anggota di grup?” Rayan menggeleng polos. “Semua karena aku.”
Jingga menceritakan semuanya secara detail. Ia sudah berjanji kepada Abip dan Husen untuk mengungkapkan kebenarannya agar tidak ada yang disembunyikan di antara mereka. Cukup sekali persahabatannya hampir hancur karena keegoisan. Selanjutnya, biarkan mereka bahagia dengan terus bersama.
“Maaf,” lirih Jingga.
“Makasih sudah jujur ke aku, Ji. Seenggaknya aku bisa lega kalau perasaanku terbalas walaupun sekarang kamu milih mundur dan menghapus rasa kamu ke aku.”
“Cukup sahabatan aja, Ray. Aku takut kejadian yang sama terulang lagi, aku belum siap," lirih Jingga, "Dekat sama kamu dulu hal yang nggak pernah aku sangka tahu.” Jingga terkekeh mengingatnya.
"Kenapa?"
"Aku tahu banget gimana sifat kamu ke cewek, cuek banget."
"Jaga perasaan kamu."
Ada rasa senang membuncah mendengar ucapan Rayan. Tetapi Jingga berusaha menepis perasaan itu. "Kamu nggak marah 'kan?"
"Enggak," jawab Rayan. "Aku nggak pernah sadar sama perasaanku. Mungkin benar kata Silvi waktu itu, kalau aku kurang peka sama perasaan orang sekitar. Katanya gengsiku terlalu tinggi untuk ngakuin kalau aku suka sama kamu.”
“Oh iya, gimana sama Silvi?”
Rayan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Aku nggak tahu siapa yang salah. Teman sekelasku nyalahin aku karena sia-siakan Silvi. Aku nggak pernah ngehargai perasaannya yang selalu ngejar-ngejar aku, karena aku nggak suka sama dia.”
“Apa kamu ngerasa kehilangan saat Silvi menjauh dari kamu?”
“Sedikit,” jawab Rayan, “Silvi nggak pantes sama aku, aku sudah banyak nyakitin dia. Silvi berhak sama orang yang bisa buat dia bahagia, bukan sama gue.”
“Masalahnya Silvi bahagianya sama kamu," jerit Jingga dengan gemas. "Kamu yakin kalau perasaan kamu ke Silvi itu nggak ada?” Jingga menaikkan salah satu alisnya.
“Aku nggak tahu.” Rayan mengedikkan bahu acuh. "Aku nggak mau pacaran, ribet banget."
“WOY! NGAPAIN KALIAN BERDUA DI SINI?” pekik Abip sembari menggeplak bahu Rayan dengan keras.
*****
Jingga membiarkan kakinya mengayun bebas di udara. Entah mengapa ia greget ingin berenang di danau ini. Tapi malu.
Keindahan danau tak ternilai harganya, begitu pun dengan pemandangan lainnya seperti pohon dan lapangan. Sungguh indah ciptaan Tuhan.
Geng LASKAR duduk di batang trembesi yang rebah. Menikmati rimbun pepohonan serta kawanan burung yang lincah berterbangan di sore hari. Matahari masih memancarkan sinarnya yang sebentar lagi akan meredup.
“Ingat nggak pertama kali kita kenal?” tanya Jingga mengulang memori beberapa tahun yang lalu. “Awalnya kita nggak saling kenal sampai akhirnya nggak tahu malu kalau sudah kenal. Ya seperti kita ini,” ujar Jingga diiringi kekehan geli mengingatnya.
Husen memejamkan matanya cukup lama, udara sejuk menembus tubuhnya, memberikan sensasi hangat dan dingin di sore hari. “Pertemuan pertama kita karena telat waktu upacara HUT RI. Fatal banget kesalahan kita waktu itu.”
“Aku ingat banget, dasi Jingga jatuh dan hilang sampai akhirnya dia dihukum. Zara salah bawa topi, malah topi SD yang dia bawa,” ucap Salwa.
“Aku rabun tau jadinya ambil sembarang aja, eh nggak tahunya pas sudah sampai sekolah ternyata topi merah putih.”
Salwa tertawa keras. Mengingat betapa paniknya Zara dan hampir menangis menyadari topinya saat itu.
“Terus, kita berempat dihukum karena telat, ketemu di gapura sekolah.” sahut Rayan.
Abip menggelengkan kepala gemas jika ingat masa itu. “Husen maksa kita untuk nekat masuk sekolah.”
“Kamu panik gara-gara telat.” Rayan tertawa kecil, ekspresi Abip saat itu ketakutan. "Kalah sama Salwa, dia telat tapi nggak panik."
“Kita semua dihukum di barisan yang sama dan ternyata kita satu ekskul yang sama juga. Anehnya lagi kita dapat satu kelompok yang sama,” sambung Husen. "Hadeh."
Jingga mendongakkan kepalanya menatap langit yang sebentar lagi mengeluarkan bias-bias merah. “Kita dipertemukan dengan cara yang unik. Pertemuan kita mungkin menyebalkan. Tapi siapa sangka hari-hari yang kita lewatkan terasa menyenangkan?"
“Dulu aku masuk paskas karena pengin dekat sama Kak Arga. Eh, nggak tahunya ketemu kalian yang sebleng.”
“Enak aja bilangin kita sebleng!” kritik Abip tak terima.
“Waktu SMP aku nggak diterima di OSIS, akhirnya masuk paskas. Awalnya iseng juga, tapi sekarang ngerasa bersyukur banget,” ujar Husen.
“Aku malah pengin pansos, tapi pas terkenal jadinya nggak pengin terkenal.”
Husen menyenggol bahu Abip. “Najis, pede lo, dasar!”
“Aku masuk paskas karena niat. Doakan ya semoga cita-citaku tercapai,” ujar Jingga.