Sekar
Suara printer menggema di kamar. Mataku menatap lembar demi lembar formulir pendaftaran JENESYS yang keluar. Pikiranku masih melayang ke menit-menit mencekam di meja makan tadi.
Sekar yang dulu keras kepala mengejar prestasi bagaimana pun caranya, kembali. She comes back from the death, kalau kata Taylor Swift. Tapi, nyatanya bangkit yang ini tidak cukup meyakinkan Ibu untuk meloloskanku di tahap perizinan orangtua ini.
"Boleh, ya, aku ikut daftar?" tanyaku tadi dengan memelas. "Aku pengin banget bisa ke Jepang, Bu, Pak."
Bapak terlihat susah menelan suapan nasi dengan capcaynya mendengar kalimat desperate-ku. Sedangkan Ibu masih duduk dengan punggung yang selalu tegak. Satu hal yang selalu ingin kutiru dari Ibu, postur tubuhnya seakan tidak terpengaruh usianya. Tetap tegak. Tampak kuat dan sehat. Ibu juga yang mengajarkan untuk menjaga postur tubuh ketika duduk supaya tidak jadi bungkuk. Sayangnya kali ini aku tidak bisa mempraktikan hal itu. Rasanya ada beban luar biasa berat di pundakku perkara mendapat restu Ibu.
"Apa pernah Ibu ngelarang kamu ikut ini-itu sejak sekolah dulu? Nggak, kan? Apa nggak bisa yang sekarang ini dipikir-pikir dulu?" Dengan satu tarikan napas, Ibu menyahut. Nadanya biasa, tapi sarat interogasi.
"Berapa hari, sih, programnya?" Kali ini Bapak ikut masuk ke "obrolan". Aku lebih suka menyebutnya "sidang".
"Sembilan malam sepuluh hari," jawabku sedikit takut-takut. Tidak tahu juga kenapa jadi takut, padahal informasi yang kuberikan bukan mengada-ada.
"Terus, kuliah kamu gimana? Memangnya boleh izin selama itu? Nggak khawatir udah semester tujuh malah nggak kuliah selama itu?"
Ibu sekali lagi menginterogasi. Aku tidak suka. Aku yakin yang dimau Ibu bukan jawaban, tapi kalimat 'ya sudah, aku nggak jadi daftar' dariku.
"Sebentar itu. Bapak kira program yang sampai bulanan." Bapak mengambil jeda sebelum menyampaikan opininya. Sebuah pernyataan yang seakan jadi secercah harapan bagiku.
"Iya, cuma sebentar aja. Programnya bukan pertukaran sebenarnya, karena nggak ada mahasiswa Jepang yang ke Indonesia bareng programnya. Ini lebih seperti kunjungan mahasiswa Indonesia ke Jepang."
"Ya, sudah, cari-cari aja di internet. Nonton lewat YouTube juga bisa, kan? Ngapain harus jauh-jauh ke sana kalau programnya juga cuma sebentar? Waktunya memang sebentar, tapi uangnya tetap banyak yang dibutuhin."
Aku membuang napas pelan. Sangat kupahami alasan Ibu tidak memberikan izinnya. Tapi, bahkan aku rela tidak bawa uang saku banyak demi bisa menghirup udara Jepang walau cuma sebentar.
Tiga lembar formulir pendaftaran sudah tercetak lengkap. Berisi data pribadi, pengalaman atau prestasi yang pernah diraih, level kemampuan bahasa Jepang, dan yang terakhir kolom untuk tempat esai singkat tentang motivasi diri mengikuti JENESYS dan alasan kenapa pantas untuk diloloskan.
Iya, hanya seputar itu. Tidak diwajibkan melampirkan sertifikat JLPT, bahkan TOEFL atau IELTS sekali pun. Ketiganya bisa ikut dikirimkan jika memang punya. Tidak bersifat wajib.
Program exchange mana lagi yang syarat administrasinya segampang ini?
Satu-satunya yang bisa kubanggakan adalah bahwa aku tercatat sebagai salah satu anggota klub tari di fakultas. Dengan mencantumkan Tari Beskalan Putri Malang sebagai kesenian yang akan kupertunjukkan di acaranya nanti, aku merasa punya kesempatan, mengingat program ini memang berfokus dengan pertukaran informasi tentang kebudayaan dan peninggalan sejarah antar dua negara.
Aku pernah mendengar pendapat orang tentang dunia kerja yang saling bertolak belakang. Kalau lingkungan kerjamu kondusif, dengan rekan dan bos yang saling support, gajimu kecil. Kalau gajimu sampai dua digit, bos dan rekanmu bagaikan syaitonirojim.
Kamu tidak akan pernah bisa mendapat kondisi yang serba nyaman. Pasti akan ada satu-dua hal yang menyita kewarasan.
Yang kualami saat ini bukan masalah kantoran. PKL saja belum kulakoni, tapi gladi kotornya sedang kualami.
Program exchange yang cuma sebentar. Semua biaya ditanggung, bahkan visa yang paling ribet dan mahal urusannya itu. Persyaratan yang tidak memerlukan kamu jadi superhero yang cerdas dulu baru bisa mendaftar. Tapi, izin dari Ibu susah dijangkau.
Seleksi awal bagiku sejatinya berada di rumah sendiri. Ketua penyelenggaranya Ibu.
Satu ide esktrem sudah bercokol di kepalaku sejak kehororan di meja makan tadi berlangsung. Akan kucoba sekali lagi mencari suaka lewat Bapak, kalau tidak berhasil juga, aku akan kembali ke Malang dengan alasan mengurusi kuliah, lalu diam-diam tetap mendaftarkan diri.
Keras kepala, ya?
Setelah selesai mengisi biodata, sebelum menuliskan esai singkat mengenai visi-misiku mengikuti program ini, kututup dan kukunci pintu kamar. Kupasang earphone dan kuputar music player di ponsel. Instrumen khas tari tradisional milik Tari Beskalan yang kujadikan senjata di pengisian formulir tadi.
Aku mulai hanyut dengan irama gending yang mengalun. Dengan sibakan selendang, kuharap masalah perizinan ini juga ikut terhempas. Kepalaku menciptakan imajinasi seakan aku memamerkan keahlian ini di depan para peserta dan panitia termasuk mereka, para warga Jepang asli.