Sekar
Apa patah hati terbesarmu? Yang paling membuatmu nelangsa. Yang paling membuat duniamu jungkir-balik. Yang paling membuatmu gila.
Jawaban seorang Sekar Lavanya Irawan adalah yang terjadi saat ini. Kedengarannya mungkin terlalu muluk kalau ini didefinisikan sebagai patah hati terbesar, tapi nyatanya bisa sampai membuatku mengambil jalan "kabur dari rumah".
"Aku balik ke Malang hari ini, Bu. Pesawatnya nanti sore," kataku tadi subuh.
Ibu menoleh sebentar, lalu melanjutkan melipat sajadahnya. "Sudah bilang Bapakmu?"
Terlihat dari korden kamar Ibu yang sudah dibuka, di luar langit masih gelap. Bapak juga masih di masjid kompleks.
"Sudah."
Jangan tanya bagaimana kondisi jantungku saat itu. Bukan lagi berdegub kencang menahan emosi, tapi sudah mau loncat keluar dari tempatnya saking tidak sanggup lagi dengan gempuran resah semalaman.
Obrolan dari hati ke hati dengan Bapak tidak berjalan sesuai ekspektasi. Beliau sangat tahu betapa inginnya aku bisa sampai ke Jepang. Beliau yang selalu berusaha mencoba menenangkan diriku tiap kali kalah lagi dalam perlombaan di bidang bahasa Jepang. Beliau pula saksi mata bagaimana aku menangis semalaman gara-gara yang lolos menerima beasiswa hanya Ruri, sedangkan aku tidak.
"Aku pengin banget ke Jepang, Pak." Satu kalimat itu saja yang mampu kuucapkan ketika Bapak mendatangiku ke kamar malam sebelumnya. Bapak memandangiku yang sibuk mengatur napas karena sudah diburu isak dan ingus.
"Tahun depan aja, gimana? Program begitu itu pasti selalu ada," ujar Bapak. Dengan cara Bapak menawar seperti itu aku bisa tahu bahwa dia pun tahu aku ingin setidaknya kembali menjajal peruntunganku. Tapi, tetap saja respons Bapak membuatku kehabisan alasan untuk mempertahankan keinginan.
Sampai akhirnya, sebelum Bapak berangkat ke masjid tadi, aku mengatakan bahwa hari ini harus kembali ke Malang karena awal semester baru akan dimulai dan aku perlu menyiapkan banyak hal terkait administrasinya. Aku yakin Bapak paham apa maksudku, hanya saja dia cukup mengiyakan tanpa bertanya apa-apa lagi. Mungkin begitulah cara Bapak untuk membiarkanku bertindak sejauh yang aku mampu.
Sama dengan Ibu. Aku juga yakin 100% beliau mengerti tujuanku kembali ke kota perantauanku itu semendadak ini. Yang beliau tidak tahu inilah patah hati terbesarku. Ketika semangat itu muncul lagi, justru dukungan yang paling kubutuhkan malah sulit kudapat.
Setelah menempuh waktu satu jam lebih di pesawat, diteruskan di bus dari Surabaya ke Malang yang memakan waktu hampir dua jam karena macet, akhirnya aku terkapar di kasur kost. Acara kabur-kaburan dari rumah ini ternyata berhasil juga.
Aroma khas kamar yang ditinggal penghuninya selama satu bulan masih menari-nari di rongga hidung. Badanku masih remuk-redam untuk beberes. Bahkan untuk mengganti baju saja belum sanggup. Yang bisa kulakukan hanya cuci kaki, tangan, serta wajah yang lengketnya nggak ketulungan, juga membuka jendela kamar lebar-lebar.
Angin malam Kota Malang yang dingin mulai menyapa. Kupejamkan mata sebentar, seperti perlu waktu sedikit lagi untuk mengumpulkan kesadaran bahwa aku sudah mengambil keputusan berani. Ini baru permulaan. Setelahnya pasti akan lebih drama lagi. Aku yakin itu.
Setelah sekitar sepuluh menit membiarkan badanku menempel di kasur, kupaksakan diri mandi dengan air hangat, berganti pakaian dengan yang lebih nyaman, mengganti sprei dan sarung bantal-guling, menyapu lantai kost, lalu segera kembali mengutak-atik form pendaftaran. Tadinya aku memang tinggal mengisi kolom esai singkat, tapi setelah kuperhatikan lagi, tulisan tanganku masih kurang rapi di bagian data diri. Bisa jadi karena waktu mengisinya di rumah, emosiku masih belum stabil. Sekarang, di tempat ini, aku sudah jauh lebih tenang. Aku berniat mengisi lembar pendaftaran itu lagi, dengan lebih baik.
Bismillah.
Aku tahu, saat ini izin orangtua belum berhasil kukantongi. Kalau begitu yang perlu kulakukan adalah "mengetuk pintu" lain yang lebih besar untuk mendapat bantuan melunakkan hati dua orang terpenting dalam hidupku itu.