Lemon of 10 Days

Shenita Sora
Chapter #5

一期一会 (ichi go ichi e) : one time, one meeting

Juna

"Kenapa Abang nggak seperti kakak-kakak orang lain?" Minami masih membebat tubuhnya dengan selimut di atas kasurku. "Abaaang! Adiknya lagi patah hati ini lho!"

Sementara aku sudah rapi siap ke bandara, harus tertahan demi mendengar rengekannya, padahal penerbangan dijadwalkan tiga jam lagi. "Terus kamu mau Abang gimana?"

"Ya, gimana, kek. Kayak nggak pernah patah hati aja sebelumnya. Kak Lasya pasti sedih di atas sana lihat Abang kayak gini."

Aku menoleh. Minami terdiam, seakan paham sudah memantik sesuatu yang nggak perlu.

"Ittekimasu.29" Kutinggal dia ke luar kamar menuju ruang makan tanpa merespons ucapannya tadi.

"Abaaang! Chotto matteee!30 Abaaang!"

"Minami! Astaga, subuh buta sudah ribut! Lebih baik bantu Mama menyiapkan bekalmu."

Suara Minami masih menggema beradu dengan derap kakinya menuruni anak tangga. Suara Mama dari dapur berbarengan dengan keriuhan denting alat masak di dapur.

Suasana pagi yang nggak mungkin kudapat kalau sudah di Tokyo. Meskipun bising, kutahan saja. Sebentar lagi aku bakal kesusahan mencari waktu untuk sekedar pulang kampung.

"Berangkat sekarang, Jun?" tanya Papa setelah aku menyalami punggung tangan Mama.

"Iya. Saya berangkat dulu, Pa." Giliran punggung tangan pria berusia setengah abad itu yang kucium takzim. Budaya Indonesia yang dijaga Papa dan Mama walaupun kami sudah lama meninggalkan negara tersebut.

"Kalau sampai nanti, video call, ya. Mama mau ngobrol sama Tante Kayo."

Aku mengangguk. Nama ibu Lasya disebut dengan nada ceria, padahal sorot mata Mama mengisyaratkan berbeda. Aku tahu dia belum bisa sepenuhnya selesai dengan dukanya.

"Abang, ih! Jahat! Aku cerita aja ke Kak Wahyu."

Satu geplakan mendarat di lengan belakangku. Kubalik badan menghadap Minami. Selimutku masih membungkus setengah badannya. Kutarik pelan, lalu kupakaikan di kepalanya, membuat wajah bulatnya makin tembam. Minami cemberut.

"Jangan rese gangguin orang lain. Abang berangkat dulu."

Tahu apa yang diminta adik ajaibku dari kemarin? Dia memintaku melabrak mantan pacarnya yang baru tiga hari dia kencani kemarin. Minami beranggapan seharusnya sebagai kakak laki-laki aku bisa jadi tamengnya kalau terjadi sesuatu dengannya.

Setuju.

Tapi melabrak bocah SMA, perkara putus cinta pula? Nanti dulu.

Setelah diamankan Mama, akhirnya aku bisa keluar dari rumah mengejar waktu keberangkatan. Perjalanan ke bandara lancar, sampai segala prosedur administrasi sebelum pesawat take off tidak ada kendala. Kecuali handphone-ku yang terus bergetar karena Minami bertanya apa aku bertemu Kento, mantan pacarnya.

Di sela rentetan teror dari Minami, ada satu LINE dari Wahyu, kakak Lasya.

"Kalau udah sampe, kabari, Bro. Gue diminta Nyokap jemput lo."

"Siap." Satu jawaban kukirim.

Sepertinya perkara menghadapi adik yang puber, perlu kubicarakan dengan Wahyu. Dia sudah menganggap Minami seperti adiknya sendiri sejak Lasya pergi meninggalkan kami. Wahyu, adalah sosok yang selalu Minami banding-bandingkan denganku. Kuakui Wahyu memang lebih sabar menanggapi emosi meluap-luap Minami tiap kali dia berkunjung ke rumah, atau sewaktu kami yang bersilaturahmi ke rumah mereka. Sedangkan aku, baru sehari menghadapinya, kepalaku pusing.

Sudah lama sebenarnya sejak terakhir kali aku lengkap dengan kedua orangtua dan Minami ke Jakarta. Sudah lama juga kami tidak mendatangi rumah baru Lasya. Tahun ini pun sesungguhnya sulit untukku menyempatkan diri seperti ini. Program JENESYS sudah di depan mata. Tak lagi sekedar menjadi panitia di balik layar, kali ini aku didapuk menjadi salah satu pendamping kelompok mahasiswa-mahasiswa itu nantinya. Pengalaman yang memang sudah lama kunanti. Pasti sangat menyenangkan akhirnya bisa berinteraksi dengan banyak orang Indonesia setelah sekian tahun terpaut jarak dengan mereka.

Di Tokyo sebenarnya ada beberapa teman dari Indonesia, tapi karena waktu kami yang terbatas, tidak memungkinkan komunikasi seleluasa itu. Sedangkan di program pertukaran budaya ini nanti selama 10 hari, dalam 24 jam penuh kami berada di satu ruang lingkup, pasti bisa dengan mudah kudengar percakapan dengan bahasa keduaku itu.

Dalam rangka merayakan itulah, aku luangkan sebentar untuk menceritakannya ke Lasya.

Lihat selengkapnya