Sekar
What's the despised situation you want to refrain from? Me is waiting for someone.
Mending nunggu oder-an seblak frozen yang nyangkut di DC Cakung, daripada harus menggantung harap pada keberadaan manusia lain. Ironisnya, keadaan menyesakkan itulah yang sedang aku alami sekarang. Bukan cuma satu, tapi tiga orang. Atau mungkin empat? Yang jelas semuanya orang, bukan seblak.
"Kamu tahu? Aku sampe belajar pronunciation-nya. Terus, aku juga baru tahu kalau pengucapan bunyi "U" di bahasa Jepang itu kayak samar gitu, ya? Gerakan bibirnya nggak kayak orang Indonesia kalau bilang huruf U. It's confusing but fun at the same time." Sinta yang satu jurusan denganku masih bercerita dengan logat Malangnya yang kental, tapi terdengar luwes ketika berbahasa Inggris. Sorot matanya berapi-api. Kontras sekali dengan suasana mendung kota ini sejak tadi subuh, namun selaras dengan kusutnya pikiranku.
Sudah lima menit dia membicarakan bagaimana bersemangatnya dia menunggu pengumuman seleksi administrasi JENESYS hari ini. Sambil duduk di meja taman depan fakultas, dia juga menceritakan usahanya untuk mempelajari bahasa Jepang lewat YouTube, sambil sesekali mempraktikkan beberapa pelafalan kosakata.
"Kamu enak, Kar. Udah jago bahasa Jepangnya, pasti lolos," lanjutnya mengundang senyum kecut dariku.
"Jauh banget dari kata jago, Sin. Mana udah lama banget nggak belajar lagi," sahutku berusaha tabah, namun tetap mengamini kalimat Sinta dalam hati. Kupandangi langit siang ini sekali lagi. Malang mulai menunjukkan bukti julukannya sebagai Kota Hujannya Jawa Timur. Hawa dinginnya bercampur mendung yang bergelayut, sungguh syahdu bagi mereka yang tak punya beban hati.
Masalahnya mendengar langsung respons teman yang juga ikut mendaftar program ini, justru membuatku makin tak percaya diri. Makin gloomy seperti penampakan langit di atas ubun-ubunku ini.
Jelas, Sinta sudah mengantongi izin orangtuanya yang aku tahu memang sangat supportive ke anak-anaknya. Perempuan berambut lurus itu adalah satu teman satu jurusan yang lumayan sering mengobrol denganku. Dari banyak topik obrolan itu aku tahu dia tumbuh di keluarga cemara.
"Coba kalau di SMA-ku dulu ada pelajaran bahasa Jepang, seenggaknya aku nggak bakal se-nervous ini. Ada nggak sih exchange ke Jerman? Tapi, bahasa Jermanku juga udah ilang, nggak pernah dipake."
"Harusnya ada, ya. Cuma kita belum tahu aja."
"Ngobrol opo, sih? Seru banget koyok'e?"
Kami menoleh ke asal suara lain. Tampak Ilham menenteng ransel di pundak kirinya, sementara tangan kananannya membawa teh kemasan botol. Mahasiswa yang juga asli Malang itu lalu duduk di sebelahku. "Ngomongin aku a?"32
"Kamu daftar a, Ham?" tanya Sinta. Perempuan yang selalu memancarkan semangat itu memfokuskan perhatiannya ke Ilham, yang aku yakin suskses membuat laki-laki di sampingku itu susah napas.
"Program ke Jepang itu? Opo jenenge?33 Genetic?"
"Jenesys!"
Aku tertawa, membiarkan momen ini diisi dua orang yang cukup dekat denganku itu.
"Oh, iya, itu. Nggak."
"Kenapa?" Sinta masih menjaga obrolan. "You love watching anime, don't you wanna visit the country?"
"Saingannya satu Indonesia raya merdeka begitu, Sin. Mending aku nontonin anime aja sambil rebahan."
Sinta geleng-geleng takmengerti. "Cowok begini ini bukan tipe yang ngejar, ya, Kar?"
Sekarang Sinta menyeret namaku seperti meminta pertolongan supaya obrolan tetap mengalir.
"Mintanya dikejar kali, Sin. Coba aja." Aku membuka bungkus permen lemon mint dan memasukkannya ke dalam mulut. Tersenyum penuh arti sambil memainkan permen di lidah.
Ilham berdehem-dehem. Sinta melengos, tapi pipinya bersemu pink.
"Mau gue comblangin aja, apa gimana, nih?"
"Sekar, ah!" Sinta melotot. Ilham tertawa sampai tertunduk.
"Aku ke kelas dulu kalau gitu. Udah hampir masuk." Buru-buru Sinta memberesi tas dan buku berisi catatan bahasa Jepang hasil belajarnya seminggu ini.
"Jail banget kamu, Kar. Kasihan anak orang jadi malu."