Juna
Lasya semangat membuka bungkus permen lemonnya. Jari-jari mungilnya terasa nggak sabar untuk segera memasukkan permen kesukaannya itu ke dalam mulut. Sampai akhirnya ketika lidahnya mencecap rasa asam-manis sensasi permen berwarna kuning cerah itu, pipinya menggembung. Kedua matanya menyipit membentuk lengkung seakan ikut tersenyum. Kedua tangan yang tadi sibuk, kini terkepal dan bergoyang-goyang. Pun kedua kakinya yang makin lincah menggerakkan tubuhnya maju-mundur di ayunan. Rambut bergelombang selehernya terusik angin yang menerpa.
Aku berdiri menikmati pemandangan itu. Beberapa detik yang lalu, aku sadar ini mimpi, jadi kubiarkan saja Lasya kecil di situ. Dia masih belum menyadari kehadiranku. Atau mungkin memang sangaja nggak memperhatikanku di sini. Baginya nggak ada yang lebih penting daripada permen lemonnya.
Walau tahu ini mimpi, aku tetap bersyukur Lasya mau mampir. Seenggaknya ini artinya dia menjawab cerita panjang-lebarku kemarin sore. Kuanggap ini juga pertanda dia kangen mendatangiku lagi.
Tak lama, Lasya berhenti berayun-ayun. Mulutnya sesekali masih mengerucut, tanda permennya masih di dalam. Dengan satu gerakan, dia turun dari ayunan. Merapikan rok dan bajunya. Mengedarkan pandang ke sekitarnya, sembari membetulkan letak jepitnya yang melorot. Di mimpi kali ini pun, Lasya memakai jepit berbentuk bintang berwarna kuning yang tak sengaja kudapat dari snack berhadiah.
"Yah, bukan lemon. Gomen." Masih kuingat ucapanku ketika kukeluarkan bungkusan kecil di antara butiran jajanan di tanganku. Sembilan belas tahun yang lalu.
"Daijoubu35. Lucu! Buat aku, kan?"
"Ya, masa aku yang pake?"
Lasya tersenyum lebar. Sama dengan detik ini. Dia sedang tersenyum ketika pandangan kami bertemu. Lalu, dia berjalan mendekatiku.
"Ohisashiburi, Juna-chan!"36
Aku menyeringai. "Aku sudah besar sekarang, Lasya-chan."
Lasya nggak menyahut. Dia masih memandangiku dengan kedua manik mata coklat gelapnya. "Kamu beneran mau ketemu aku?"
Kedua alisku terangkat, belum paham dengan pertanyaan Lasya.
"Kamu beneran mau ketemu aku?" ulangnya. Kali ini dengan tatapan serius. Aku mengangguk.
Tanpa bersuara lagi, Lasya makin mendekatiku. Sementara kedua kakiku rasanya makin menghujam ke tanah. Berat.
Lasya meraih satu tanganku. Matanya masih fokus memandangiku.
"Kamu beneran mau ketemu aku?" Dia bertanya lagi. Tatapannya lebih tajam dari sebelumnya. Tubuhku makin memberat ke bawah.
"Iya, Sya." Aku mulai panik, karena genggaman tangan Lasya juga makin kuat. "Sya?"
Lasya tidak menyahut. Dia menyeringai. Lamat-lamat, tubuhnya diselimuti kabut yang makin lama makin tebal. Sampai sosoknya benar-benar menghilang.
"Kamu beneran mau ketemu aku?" Suaranya masih terdengar jelas.
Seperti memang punya kendali atas bunga tidurku ini, kubuka mataku cepat. Dahiku basah oleh keringat. Dadaku ngilu. Tanganku gemetar. Bekas genggaman tangan Lasya masih terasa di tangan kananku.
Tak menunggu lama, aku terhenyak menyadari ada permen lemon mint di tangan kiriku. Aku tahu merek yang tertulis di bungkus warna kuningnya. Dulu waktu masih di Jakarta, aku punya stock banyak dengan varian originalnya. Tapi, aku berani bersumpah, sebelum tidur aku nggak membawa apa-apa ke atas kasur. Terlebih seharian ini atau kemarin, nggak ada seorang pun dari aku, Wahyu, atau kedua orantua Lasya yang makan permen atau memberiku permen.
Masih memcoba mengingat-ingat bagaimana bisa ada permen di sini, telingaku mendengar suara bisikan.
"Kamu beneran mau ketemu aku?"
🍋