Sekar
Empat puluh delapan menit tiga belas detik, durasi yang aku habiskan untuk wawancara tadi. Segala jenis pertanyaan mulai yang basic sampai yang advanced excellent to the max, semacam:
"Sebagai Muslim, bagaimana Saudara mengatur waktu kegiatan dan beribadah nanti? Perlu diketahui, kami tidak menyediakan waktu istirahat-salat-makan ketika jam aktif berkegiatan seperti di Indonesia."
Atau,
"Apa kontribusi nyata Saudara setelah kembali ke Indonesia nanti?"
Dan,
Alih-alih menanyakan apa minat atau hal yang kukagumi dari Jepang, si Mbak Dewi bertanya, "Sebutkan hal yang Saudara benci dari Jepang, dan alasannya."
Kesemuanya kujawab tanpa absen dari kata tanya 'mengapa' dan 'bagaimana'. Aku sendiri lebih nyaman menyebut wawancara ini sebagai mini debate contest. Yana yang hanya mendengarkan dari point of view-ku tidak berhenti menggelengkan kepala.
"Gila! Lo diwawancara apa disidang? Lama banget."
"Disidang kali, ya?" jawabku meringis. Karena lidahku terasa pahit, cepat-cepat kucari keberadaan permen lemon mint dari Yana yang kusimpan di totebag tadi. Setelah permen itu menyentuh lidah, ketegangan di pundakku sedikit berkurang.
"Mau ke mana lagi kita?" tanya Yana setelah menenggak air mineralnya.
Aku melongok ke dalam kantong kertas Roti Boy, rasa lapar langsung menyerang. "Balik aja, deh. Capek gue abis debat kusir."
Belum sampai jauh beranjak dari posisi semula, kembali ponselku bergetar.
Bapak's calling.
Aku dan Yana saling melempar tatapan ngeri. Kenapa bisa Bapak telepon tepat setelah wawancara selesai? Apa Bapak tahu aku baru selesai wawancara? Tahu dari mana?
Jangan-jangan ....
"Halo, Pak."